Yang aku tahu, untuk beberapa belas tahun kemudian, Bu Satimah masih mengajar kelas satu di SD almamaterku itu. Dengan penampilan fisik yang menua dan gaya jalan yang tidak lagi gagah dan cepat seperti dulu.
Tapi, lagi-lagi hanya berdasarkan kabar, di usia menjelang pensiun ia masih melanjutkan kuliah S-1 di IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Guru-guru SD seangkatannya, dan yang menjadi para guruku di SD, memang lulusan SPG, sebuah sekolah pendidikan guru tingkat menengah yang telah dibubarkan pemerintah Orde Baru.
Hingga terjadilah pertemuan saat itu antara si Malin Kundang ini dengan sang malaikat penyelamatnya, yang ironisnya telah dilupakannya bertahun-tahun.
"Sudah SMP kamu, Lam?" Bu Satimah akhirnya mengenaliku.
Pandangannya menelisik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku yang masih kelas tiga SMP saat itu merasa risih juga dengan bulu kakiku yang mulai tumbuh lebat.
"Makin jangkung aja!" Ia tersenyum. "Belajar yang bener ya!" Ia menepuk-nepuk bahuku yang kini jauh lebih tinggi darinya.
Malaikat berhati emas ini memang berukuran tak seberapa tinggi namun, dalam kenanganku, nyalinya dan kepeduliannya jauh melebihi tinggi fisik tubuhnya.
Teramat sayang saat pertemuan itu, mungkin karena gumpalan perasaan yang campur baur di hatiku, aku tidak banyak berkata-kata.
Bertemu dengannya, setelah aku lama melupakannya, bagaikan bertemu dengan seorang pemberi utang budi yang sama sekali tak menagih utang budi dan bersikap seakan-akan kita tidak punya utang budi kepadanya.
Hanya saja sang pengutang, dalam hal ini aku, Â yang merasa kikuk bukan kepalang.
Di akhir pertemuan singkat itu, Bu Satimah menawariku berkunjung ke rumahnya.