Hingga saat kelas satu SD, dan jelang ujian akhir sekolah (UAS), saat itu lazim disebut "testing", sakitku bertambah parah dan terpaksa absen sekolah. Di saat itulah, sebagai guruku, Bu Satimah menunjukkan pendirian dan kepeduliannya.
"Kamu harus tetap sekolah," ujarnya padaku. "Salam harus ikut testing," ia tegaskan itu di depanku dan ibuku serta di hadapan guru-guru lain di ruang kepala sekolah. "Meskipun testingnya di rumah."
"Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang bisa jamin?" tanya seorang guru perempuan, dengan nada sinis.
Bu Satimah menatap tegar. "Saya yang jamin. Saya yang bertanggung jawab."
Dukungan yang diberikan Bu Satimah dengan tegas untuk kelanjutan sekolahku memapas pelecehan dan pesimisme pihak sekolah.Â
Meskipun aku tahu beberapa guru seakan bersungut-sungut, tapi sang malaikat penyelamat itu, dengan rambut ikal pendek dan kacamata minusnya, bersiteguh dengan argumentasinya yang cerdas.
Wajah Bu Satimah memang terkesan keras. Konon ia berdarah Jawa Timur. Namun hari itu ia menunjukkan kelembutan sayap-sayap hatinya.
Bukan itu saja yang membuatku kian salut kepadanya. Setelah perjuangannya yang keras di depanku, ia memberikan kepercayaan yang besar kepadaku dan keluargaku.
Semestinya, dengan saran kepala sekolah, Bu Satimah harus selalu mengawasi aku ketika sedang mengerjakan soal testing di rumah. Namun ia sepenuhnya mempercayakan pengawasan itu kepada kedua orangtuaku.
Selama pekan testing, ia hanya mengantarkan bahan testing ke rumahku dan mengambilnya selepas jam sekolah.
"Saya percaya kok bapak ibu orang jujur. Salam juga anak jujur. Jadi saya percaya saja," demikian jelasnya.