Kedua orangtuaku yang terharu dengan kepercayaan tersebut menjaga betul amanah tersebut. Bahkan ayahku tak segan-segan menjewer salah satu kakakku yang mencoba membantuku mengerjakan soal testing. Kepercayaan memang barang mahal.
Alhamdulillah, dengan prosedur testing yang 'di luar kebiasaan' tersebut, aku dinyatakan berhak naik kelas ke kelas dua.
Namun sakitku yang bertambah parah, dan ketiadaan dana orangtuaku, aku pun cuti dari sekolah. Bedrest. Lagi-lagi di luar kebiasaan.
Setahun kemudian, setelah menjalani operasi pada 1984 dengan biaya pinjaman dari kerabat, aku melanjutkan ke kelas dua. Teman-teman seangkatanku sendiri sudah berada di kelas tiga.
Bu Satimah juga yang mengusulkan gagasan cuti tersebut.
Dan, lagi-lagi, dengan gemilang ia membelaku di hadapan para rekan sejawatnya. Sungguh, bagiku, ia malaikat.
Sayang tahun-tahun berlalu membawa sekaligus melipat segala kenangan termasuk kebaikan. Waktu memang paling ampuh memusnahkan segalanya.
Ditakar dengan besarnya jasa Bu Satimah, balasanku atas kebaikannya sangat tidak sepadan.
Aku hanya satu dua kali berkunjung ke rumahnya. Itu pun semasa aku masih bersekolah di SD.
Selepas SD, aku sama sekali melupakannya.
Kendati ibuku, yang merasa amat berutang budi budi kepada Bu Satimah, selalu memintaku mengunjungi sang ibu guru yang hidup sederhana di bantaran Kali Ciliwung yang selalu kebanjiran dari tahun ke tahun.