Mengapa?
Julien Benda menemukan jawabannya.
"Intelektual adalah orang-orang yang kegiatan hakikinya bukan mengejar tujuan-tujuan praktis. Kaum intelektual adalah orang-orang yang mencari kegembiraan dalam lapangan kesenian, ilmu pengetahuan atau teka-teki metafisika. Singkatnya, dalam hal-hal yang tidak menghasilkan keuntungan kebendaan, dan dengan demikian, dalam artian tertentu, kerajaannya bukanlah di dunia ini." (The Treasons of The Intellectuals, 1928)
Bagi Julien Benda, intelektual yang menyimpang dari kualifikasi tersebut adalah pengkhianat (traitor).
Kendati dalam beberapa hal pandangan Benda masih dapat diperdebatkan (debatable) namun esensi argumentasinya adalah betapa pentingnya kaum intelektual memegang teguh idealisme kemanusiaan dan etika otoritas keilmuannya.
Dalam istilah Edward Schills (1972), "Kaum cendekiawan adalah orang-orang yang mencari kebenaran."
Sebagai elemen elite masyarakat atau, menurut Soe Hok Gie, "the happy selected few", kaum intelektual yang persentasenya dalam masyarakat ibarat lapisan tipis kulit bawang memiliki tradisi, yang mencerminkan kematangan intelektual sebagai buah pendidikan yang dienyam, budaya literasi (budaya baca-tulis) yang tinggi, aktif membaca dan produktif menulis.
Inilah budaya yang merupakan puncak peradaban intelektual manusia; cerminan masyarakat yang matang. Bahkan negara-negara maju rata-rata memiliki budaya literasi yang kuat sebagai parameter tebal-tipisnya lapisan intelektual di suatu negeri.
Tingginya tingkat budaya literasi adalah simbol jiwa yang merdeka, merdeka berpikir, salah satunya.
Kemerdekaan berpikir adalah hak asasi umat manusia yang dianugerahkan Tuhan. Kekuasaan negara sekalipun tak berhak merenggut kemerdekaan tersebut.
"Orang tidak dapat dihalang-halangi untuk memikirkan apa saja yang ia kehendaki selama ia menyembunyikan buah pikirannya. Pekerjaan otak hanya dibatasi oleh batas-batas pengalamannya dan daya khayalnya," tulis J.B. Buri dalam Sejarah Kemerdekaan Berpikir (1963).