Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kenangan Hari Pertama Menjadi Ayah

12 November 2020   19:12 Diperbarui: 15 November 2020   16:36 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kelahiran anak pertama. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Di Hari Ayah Nasional yang jatuh setiap 12 November ini, izinkan aku mengisahkan ulang kenangan hari pertamaku menjadi seorang ayah pada dua belas tahun silam.

Apa pun pengalaman pertama, seperti hari pertama masuk sekolah atau malam pertama pernikahan, selalu menegangkan. Demikian juga hari pertama menjadi seorang ayah.

Di awal hari, aku bingung hendak izin tidak masuk kantor lagi atau tidak. Sebab sehari sebelumnya aku sudah minta izin dari bos untuk absen sehari terkait persiapan persalinan.

Jumat pekan sebelumnya aku juga izin karena ada jadwal check-up kandungan istri di sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta Timur. Dan dokter meminta aku untuk ikut datang karena ada masalah dengan kandungan istriku. Jadi ini hal penting yang membutuhkan aku sebagai decision maker, pengambil keputusan.

Berdasarkan hasil USG, rupanya posisi bayi kami menyamping alias melintang. Juga terlilit tali pusat. Tidak ada jalan lain, kata sang dokter, selain operasi sectio caesare (SC) atau caesar.

Padahal istriku sudah aktif senam hamil sejak beberapa bulan sebelumnya.

Kabarnya ini akibat kandungan istriku sempat dipijat dukun pijat saat usia kehamilan tiga bulan, karena letak kepala bayi yang sudah menukik di jalan lahir, sehingga istriku susah berjalan dan kami kuatir terjadi keguguran. Ternyata itu keputusan yang salah karena justru mengganggu pergerakan alamiah sang bayi.

Benar kata orang bijak, saat istri kita hamil, semua orang di sekeliling kita mendadak menjadi ahli kehamilan. Semua memberikan saran dan rekomendasi tak peduli benar-benar tahu atau cuma sok tahu. Tapi semua terpulang kepada kita sebagai decision maker. Dan saat itu aku membuat keputusan yang keliru. Maafkan Abi, ya Ummi, ya Nak!

Dengan menahan nafas, karena kecewa istriku tak bisa melahirkan normal sekaligus terbayang bilangan nominal tabungan yang akan keluar, sang decision maker yang pernah keliru ini menyanggupi. Lebih tepatnya, terpaksa menyanggupi karena toh tak ada opsi lain.

Disepakatilah jadwal check-up terakhir, yang jika perlu, berdasarkan hasil pemeriksaan lab dan lain-lain, merupakan tanggal operasi persalinan pada hari Selasa, 18 November 2008. Menurut ancer-ancer dokter, operasi caesar akan dilakukan pada pukul lima sore.

Nah, di Selasa pagi itulah, sebagai pekerja di sebuah biro penerjemahan dan juga calon ayah, aku terjebak dilema.

Di saat seperti itu aku bernostalgia masa-masa "merdeka" sebagai penerjemah lepas purnawaktu yang relatif bebas mengatur waktu. Tidak bergantung pada jadwal kantor atau ngamuk tidaknya bos kita jika kita berkali-kali minta izin terutama di saat pekerjaan menumpuk.

Melihat aku pagi-pagi merenung, dengan gaya standarku yang bertopang dagu dan kening berkerut, istriku segera paham dan memberikan solusi. "Ya udah Abang ngantor aja."

Ajaib! Sebelas bulan berumah tangga ternyata memberikan sang istriku tersayang kemampuan membaca pikiran. Setidaknya ilmu empatinya lebih terasah ketimbang aku yang selepas jam kantor kadang masih saja asyik menerjemahkan order terjemahan di luar kerjaan kantor. Sementara ia menatapku penuh harap dengan isyarat punggungnya minta diusap-usap.

Ibu hamil memang paling suka jika punggung bagian bawahnya diusap-usap. Konon rasa usapannya itu bisa terasa hingga ke perut dan bayi, yang di trimester ketiga sangat aktif bergerak hingga membuat nyeri dan sesak ibunya, jadi lebih anteng.

Keluarga kecilku/Dokpri: Nursalam AR
Keluarga kecilku/Dokpri: Nursalam AR

Alhasil, istriku pun bisa tidur lelap. Setidaknya dalam standar tidur lelap seorang ibu hamil. Karena bagi bumil, di trimester tiga, tidur lelap adalah barang mewah.

Singkat cerita, setelah mengantongi empati dan restu istriku, aku berangkat ngantor. Itu pun dengan perasaan paranoid dalam segala hal.

Di kantor, tidak seperti biasa, qodarullah, kerjaan sepi. Padahal biasanya jelang akhir tahun tenggat order terjemahan menggila.

Jelang tengah hari, masuk sandek (pesan pendek) atau sms di hapeku. Dari istriku.

Beritanya? Ternyata pihak rumah sakit menelepon agar istriku segera datang ke rumah sakit. Rencana tes lab dimajukan jadi pukul satu siang. Istriku mohon doa dan mengungkapkan ketakutannya.

Dengan gaya motivator ulung, aku memberikan advis bernuansa Law of Attraction kepadanya plus amalan wirid Asmaul Husna sebagai penenang.

Ketika hape ditutup, aku masih berharap dapat menemani istriku di ruang operasi jika hari itu juga ia harus menjalani operasi caesar.

Prediksiku, operasi, jika harus dilakukan, adalah sekitar pukul lima sore. Dan aku masih bisa mengejarnya dengan pulang dari kantor pukul empat sore. Untuk pergi ke rumah sakit, sudah ada ibu mertua, paman istri dan adik iparku yang mengantar. Lengkap sudah armada dan sopir menuju medan jihad.

Persis jam satu siang, setelah sholat Zuhur, ibu mertua menelepon.

"Salam, Yuni jam satu ini dioperasi. Tanda tangan suami sudah ibu wakilkan," ujar ibu mertua.

Alamak. Rupanya tanpa tes lab lagi operasi caesar dimajukan 4 jam. Sebagai suami, aku merasa tak lengkap. Karena bukan aku yang menandatangani surat persetujuan operasi caesar istriku. Dan aku tak dapat mendampingi istriku di ajang hidup mati itu. Aku pun segera menuju RS.

Tiba di rumah sakit, di tengah macetnya lalu lintas dan mendungnya Jakarta, pukul setengah dua lewat, aku bergegas memburu lift ke lantai 4, sesuai info dari adik iparku via sms.

Memang isti'jal alias tergesa-gesa itu tidak baik. Aku memang tiba di lantai 4. Tapi bukan lantai 4 tempat ruang operasi.

Ola la, ternyata rumah sakit itu punya dua gedung yang dibangun menyatu. Alhasil, ada dua lantai 4 dalam satu bangunan.

Aku, berbekal petunjuk petugas cleaning service yang simpatik dan baik budi, turun lagi ke lantai 2 dan berbelok ke kiri dari tempatku naik lift yang pertama. Inilah titik persambungan dua gedung itu.

Alhamdulillah, di lantai 4 yang benar-benar tujuanku, aku ketemu dengan rombongan pengantar istriku yang juga wajah mereka tak kalah pias. Terutama ibu mertua. Maklum, bayiku adalah cucu pertamanya. Sementara Wak Ngah, salah satu paman istri, berusaha menenangkan kami.

"Tenang ajalah. Ayah malah waktu itu lihat langsung persalinan caesar Eka. Lancar-lancar aja kok. Sekarang semua sudah canggih. Sudah biasa itu dicesar. Aman, Insya Allah," ujarnya memberi semangat. Aku yang duduk di kursi pojok tersenyum basa-basi.

Tapi lantas tak urung Wak Ngah berjalan mondar-mandir tak keruan di ruang tunggu itu. Ah, tak apalah, aku hargai niat baiknya menghibur kami...

Selama menunggu, tak putus-putus hafalan Al-Qur'an kulafalkan. Juga Al Ma'tsurot. Masih kurang juga, aku lanjutkan dengan tilawah Surah Yasin dengan penuh harap akan keselamatan istri dan anakku.

"Katanya cuma setengah jam ya, Ning," ujar Wak Ngah yang mendadak lupa kepada kata-katanya sendiri. Bu Ayuningsih, ibu mertuaku, merengut. Aku tersenyum geli.

Dalam literatur operasi caesar pengambilan bayi memang hanya setengah jam. Namun perlu waktu lebih hingga 2-3 jam untuk menjahit luka pada perut si ibu.

Hukum relativitas waktu hari itu juga bekerja efektif. Waktu serasa ngesot.

Dalam lantunan doa dan gumpalan harap, ditingkahi siaran infotainment dari TV di ruang tunggu, aku merasa pasrah pada-Nya. Aku hanya menyisipkan doa pamungkas kepada Allah di ujung penantian dua jam yang menyiksa itu.

Ya Allah, aku sudah banyak kehilangan. Kehilangan ayah, ibu dan kakak sulungku yang guru menulisku dan guru ngaji pertamaku. Kehilangan biro penerjemahanku dan segenap hartaku selepas banjir bandang 2007 lalu. 

Tapi, ya Allah, tak usah engkau kembalikan semua itu karena aku sudah relakan semuanya. Cukup tambahkan satu saja untukku dan jangan kau ambil istriku sebelum aku dapat memenuhi janjiku untuk membuatnya tinggal di rumah milik kami sendiri dan mengajaknya berhaji...

Mungkin, kata Hanung Bramantyo, itu termasuk kategori doa yang mengancam. 

Tapi setidaknya aku lega sudah curhat kepada Allah. Karena kita tak boleh sombong dengan hanya bergantung pada kecanggihan teknologi manusia. Tuhanlah yang punya kuasa. Dalam hal apa pun. Terlepas kita percaya atau tidak akan keberadaan-Nya.

Lima menit jelang azan Ashar, pintu ruang operasi terbuka. Istriku dalam kondisi lemas dan wajah pucat diantar keluar dengan masih berbaring di atas tempat tidur. Dua orang perawat muda mengantarnya ke ruang perawatan. Aku menyambutnya dengan haru dan ciuman di dahi.

"Udah lihat bayinya?"

Itu pertanyaan pertama istriku.

Rupanya selama di ruang operasi ia belum sempat melihat bayinya. Ia hanya mendengar suara tangisan sang bayi yang segera dibersihkan. Bahkan ia sempat melarangku untuk ikut ke ruang perawatan di lantai 3 agar aku bisa melihat sang bayi yang dibawa ke tempat berbeda. Supaya bisa menceritakan kondisi bayinya, demikian alasannya.

Ah, mungkin itu naluri seorang ibu.

Aku jadi paham sepaham-pahamnya mengapa dalam setiap kasus perceraian seorang ibu umumnya akan mati-matian berjuang mendapatkan hak asuh anaknya.

Tepat azan Ashar. Pintu ruang operasi kembali terbuka.

Kali ini seorang bayi montok sehat kemerahan diantar para perawat dalam sebuah boks mungil beroda. Tangisnya memekakkan telinga. Tangan dan kakinya bergerak-gerak lincah. Tertera pada catatan di boks: berat 3,150 kg dengan panjang 51 cm. Rambutnya hitam dan tebal ikal seperti rambutku. Wajahnya pun demikian.

"Aih, cantiknya!" seru ibu mertuaku. Ia memang sangat ingin punya cucu perempuan. Katanya anak perempuan enak, bisa dirias. Maklum, beliau penata rias pengantin.

"Ibu, ini laki-laki," ujar salah satu perawat seraya menyingkap selimut bayi. Tampaklah jelas kelamin anakku. Anak pertamaku laki-laki. Sungguh ideal sekali dalam pandangan tradisional sebagian suku di Nusantara.

Tapi ibu mertua tidak patah arang. Ia memang sudah lama mendamba cucu karena baru satu orang anaknya, dari ketiga anaknya, yang menikah. Tatapan matanya dan bahasa tubuhnya menyiratkan sekali hal itu.

Aku teringat almarhumah ibuku yang dulu tak sempat melihat cucu pertamanya lahir. Ibuku wafat karena tumor ginjal saat cucu pertamanya masih berusia 3 bulan dalam kandungan.

Saat itu aku merindu almarhumah ibuku yang juga tak bisa melihat anakku, cucu kelimanya.

Juga rindu almarhum Aba, panggilan ayahku, yang dulu selalu menyindirku dengan bilang,"pengen deh dapat cucu dari Salam" karena beliau selalu mendesakku, dengan caranya yang khas, untuk segera menikah.

 Segera, setelah menunggu ibu mertua mengagumi cucu pertamanya, aku mengazani bayi itu. Ya, bayiku sendiri!

Dulu aku pernah mengazani keponakan pertamaku sewaktu ia lahir. Mengazani bayi, dan iqomah di telinga kiri, selalu berkesan. Tapi kali ini terasa berbeda. Ah, itukah naluri seorang ayah?

Jika ada kekecewaan, karena manusia, kurang ajarnya, tak pernah puas, adalah karena istriku tidak bisa melakukan inisiasi menyusui dini (IMD).

Perih hatiku menyaksikan bayiku, yang kemudian diberi nama Muhammad Alham Navid, baru bisa menikmati susu formula yang diberikan perawat dan bukan kolostrum ASI ibunya.

Tapi, apalah daya, istriku yang dirawat di ruang perawatan kelas II dan anakku yang dirawat di ruang perinatologi masih belum bisa dirawat gabung.

Istriku masih terlalu lemah dan menahan nyeri yang amat sangat, terlihat dari wajahnya, karena pengaruh obat bius yang mulai menghilang. Panas sekali, rintihnya.

Sementara obat pereda nyeri baru boleh diberikan pada pukul sepuluh malam.

Artinya, selama setengah hari atau enam jam, istriku harus berjuang menahan sakit. Namun telepon dan sms dari sahabat-sahabatnya yang membuatnya berbicara dan curhat panjang lebar lumayan dapat membuatnya melupakan rasa sakit dan nyeri.

Melihat kondisi istriku sedemikian nelangsa, aku mengurungkan niatku di awal nikah dahulu untuk punya anak sebanyak jumlah saudara kandungku. Enam orang. Sebenarnya dua belas, karena yang enam meninggal waktu kecil atau dalam kandungan. Maklum, ibuku menikah muda di usia 16 tahun.

Lagipula istriku bukanlah ibuku. Mereka terpisah bentang zaman yang berbeda. Biarlah aku kubur egoisme maskulinitas itu demi sang istri yang telah berjuang heroik selama kehamilan dan persalinan yang rasanya, menurut Al-Qur'an, wahnan 'ala wahnin, sakit di atas rasa sakit.

Apa pun itu, aku bersyukur kepada Allah yang berkenan menitipkan amanat kepadaku untuk menjadi seorang ayah bagi puteraku, hingga saat ini.

Selamat Hari Ayah Nasional bagi para ayah seantero Nusantara!

Jakarta, 12 November 2020

Baca Juga:

1. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5f9e7356d541df610e4cb5c5/wahai-nabi-yang-tak-minta-dibela

2. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5f9ef562d541df19eb7279f3/warkop-bernama-kompasiana

3. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5f9f1335d541df29ba34bd23/episode-banjir-jakarta-lagi

4. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5fa91409de3439119a0b98b2/emmanuel-macron-dan-billy-milligan

5. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5fad424f8ede4808c9681a32/tiga-jurus-menulis-dari-para-maestro

6. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5fafa52d8ede4875bb6ff872/balada-remaja

7. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5fafba878ede4807bc496652/ustaz-radikal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun