"Udah lihat bayinya?"
Itu pertanyaan pertama istriku.
Rupanya selama di ruang operasi ia belum sempat melihat bayinya. Ia hanya mendengar suara tangisan sang bayi yang segera dibersihkan. Bahkan ia sempat melarangku untuk ikut ke ruang perawatan di lantai 3 agar aku bisa melihat sang bayi yang dibawa ke tempat berbeda. Supaya bisa menceritakan kondisi bayinya, demikian alasannya.
Ah, mungkin itu naluri seorang ibu.
Aku jadi paham sepaham-pahamnya mengapa dalam setiap kasus perceraian seorang ibu umumnya akan mati-matian berjuang mendapatkan hak asuh anaknya.
Tepat azan Ashar. Pintu ruang operasi kembali terbuka.
Kali ini seorang bayi montok sehat kemerahan diantar para perawat dalam sebuah boks mungil beroda. Tangisnya memekakkan telinga. Tangan dan kakinya bergerak-gerak lincah. Tertera pada catatan di boks: berat 3,150 kg dengan panjang 51 cm. Rambutnya hitam dan tebal ikal seperti rambutku. Wajahnya pun demikian.
"Aih, cantiknya!" seru ibu mertuaku. Ia memang sangat ingin punya cucu perempuan. Katanya anak perempuan enak, bisa dirias. Maklum, beliau penata rias pengantin.
"Ibu, ini laki-laki," ujar salah satu perawat seraya menyingkap selimut bayi. Tampaklah jelas kelamin anakku. Anak pertamaku laki-laki. Sungguh ideal sekali dalam pandangan tradisional sebagian suku di Nusantara.
Tapi ibu mertua tidak patah arang. Ia memang sudah lama mendamba cucu karena baru satu orang anaknya, dari ketiga anaknya, yang menikah. Tatapan matanya dan bahasa tubuhnya menyiratkan sekali hal itu.
Aku teringat almarhumah ibuku yang dulu tak sempat melihat cucu pertamanya lahir. Ibuku wafat karena tumor ginjal saat cucu pertamanya masih berusia 3 bulan dalam kandungan.