Di saat seperti itu aku bernostalgia masa-masa "merdeka" sebagai penerjemah lepas purnawaktu yang relatif bebas mengatur waktu. Tidak bergantung pada jadwal kantor atau ngamuk tidaknya bos kita jika kita berkali-kali minta izin terutama di saat pekerjaan menumpuk.
Melihat aku pagi-pagi merenung, dengan gaya standarku yang bertopang dagu dan kening berkerut, istriku segera paham dan memberikan solusi. "Ya udah Abang ngantor aja."
Ajaib! Sebelas bulan berumah tangga ternyata memberikan sang istriku tersayang kemampuan membaca pikiran. Setidaknya ilmu empatinya lebih terasah ketimbang aku yang selepas jam kantor kadang masih saja asyik menerjemahkan order terjemahan di luar kerjaan kantor. Sementara ia menatapku penuh harap dengan isyarat punggungnya minta diusap-usap.
Ibu hamil memang paling suka jika punggung bagian bawahnya diusap-usap. Konon rasa usapannya itu bisa terasa hingga ke perut dan bayi, yang di trimester ketiga sangat aktif bergerak hingga membuat nyeri dan sesak ibunya, jadi lebih anteng.
Alhasil, istriku pun bisa tidur lelap. Setidaknya dalam standar tidur lelap seorang ibu hamil. Karena bagi bumil, di trimester tiga, tidur lelap adalah barang mewah.
Singkat cerita, setelah mengantongi empati dan restu istriku, aku berangkat ngantor. Itu pun dengan perasaan paranoid dalam segala hal.
Di kantor, tidak seperti biasa, qodarullah, kerjaan sepi. Padahal biasanya jelang akhir tahun tenggat order terjemahan menggila.
Jelang tengah hari, masuk sandek (pesan pendek) atau sms di hapeku. Dari istriku.
Beritanya? Ternyata pihak rumah sakit menelepon agar istriku segera datang ke rumah sakit. Rencana tes lab dimajukan jadi pukul satu siang. Istriku mohon doa dan mengungkapkan ketakutannya.
Dengan gaya motivator ulung, aku memberikan advis bernuansa Law of Attraction kepadanya plus amalan wirid Asmaul Husna sebagai penenang.