Tapi lantas tak urung Wak Ngah berjalan mondar-mandir tak keruan di ruang tunggu itu. Ah, tak apalah, aku hargai niat baiknya menghibur kami...
Selama menunggu, tak putus-putus hafalan Al-Qur'an kulafalkan. Juga Al Ma'tsurot. Masih kurang juga, aku lanjutkan dengan tilawah Surah Yasin dengan penuh harap akan keselamatan istri dan anakku.
"Katanya cuma setengah jam ya, Ning," ujar Wak Ngah yang mendadak lupa kepada kata-katanya sendiri. Bu Ayuningsih, ibu mertuaku, merengut. Aku tersenyum geli.
Dalam literatur operasi caesar pengambilan bayi memang hanya setengah jam. Namun perlu waktu lebih hingga 2-3 jam untuk menjahit luka pada perut si ibu.
Hukum relativitas waktu hari itu juga bekerja efektif. Waktu serasa ngesot.
Dalam lantunan doa dan gumpalan harap, ditingkahi siaran infotainment dari TV di ruang tunggu, aku merasa pasrah pada-Nya. Aku hanya menyisipkan doa pamungkas kepada Allah di ujung penantian dua jam yang menyiksa itu.
Ya Allah, aku sudah banyak kehilangan. Kehilangan ayah, ibu dan kakak sulungku yang guru menulisku dan guru ngaji pertamaku. Kehilangan biro penerjemahanku dan segenap hartaku selepas banjir bandang 2007 lalu.Â
Tapi, ya Allah, tak usah engkau kembalikan semua itu karena aku sudah relakan semuanya. Cukup tambahkan satu saja untukku dan jangan kau ambil istriku sebelum aku dapat memenuhi janjiku untuk membuatnya tinggal di rumah milik kami sendiri dan mengajaknya berhaji...
Mungkin, kata Hanung Bramantyo, itu termasuk kategori doa yang mengancam.Â
Tapi setidaknya aku lega sudah curhat kepada Allah. Karena kita tak boleh sombong dengan hanya bergantung pada kecanggihan teknologi manusia. Tuhanlah yang punya kuasa. Dalam hal apa pun. Terlepas kita percaya atau tidak akan keberadaan-Nya.
Lima menit jelang azan Ashar, pintu ruang operasi terbuka. Istriku dalam kondisi lemas dan wajah pucat diantar keluar dengan masih berbaring di atas tempat tidur. Dua orang perawat muda mengantarnya ke ruang perawatan. Aku menyambutnya dengan haru dan ciuman di dahi.