Di sisi lain, di era Kompasiana lama juga, saya melihat Ketua DPR Marzuki Alie "dikeroyok" beramai-ramai karena artikel-artikelnya. Kolom komentar artikelnya di Kompasiana senantiasa padat sesak beragam komentar kecaman.
Hebatnya, sebagai Kompasioner, Marzuki Alie menanggapinya satu per satu, termasuk komentar-komentar dengan kecaman pedas bahkan tidak beradab.
Hebatnya lagi, tidak ada satu pun Kompasioner yang dilaporkan karena UU ITE atau delik "perbuatan yang tidak menyenangkan" maupun delik hukum lainnya.
Saat ini saya agak sulit membayangkan seorang Puan Maharani yang juga ketua DPR bersedia melakukannya. Lagipula toh Puan bukanlah Kompasioner.
Karena, sependek pengetahuan saya, jika pun Puan tercatat sebagai Kompasioner, ia tidak aktif menulis saat itu. Tidak seperti Chappy Hakim (mantan KSAU dan juga mantan komut PT Freeport Indonesia), Profesor Yusril Ihza Mahendra (advokat senior ini juga tidak segan berbagi wawasan hukum, termasuk tidak sungkan berdebat di kolom komentar), Faisal Basri, Jusuf Kalla, dan sekian banyak tokoh beken lainnya.
Kang Pepih Nugraha sendiri menuangkan idenya seputar Kompasiana dan kenangannya dengan para tokoh beken yang juga barisan Kompasioner awal atau pendahulu tersebut dalam sebuah buku berjudul Kompasiana Etalase Warga Biasa (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012).
Intensitas perdebatan di era Kompasiana lama semakin terpusat pada perdebatan di kategori Politik dan semakin terpolarisasi ketika pada 2012, Jokowi memasuki kancah pilkada DKI Jakarta dan bertarung dengan gubernur petahana Fauzi Bowo atau karib dipanggil Foke.
Terlebih lagi setelah Jokowi, yang belum tuntas kerjanya sebagai DKI 1, didorong berbagai pihak untuk berlaga di pilpres 2014.
Di situlah saya, yang mulai penat dengan polarisasi yang terjadi, mulai menjaga jarak dengan Kompasiana. Lebih-lebih setelah banyak Kompasioner yang mendeklarasikan diri sebagai pendukung fulan dan pendukung polan, dan bergerilya dukungan bagi kandidatnya masing-masing.
Realitas Kompasiana era "Beyond Blogging"