Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Buat Apa Tunda Pilkada?

26 Oktober 2020   15:13 Diperbarui: 26 Oktober 2020   15:23 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Umum ILUNI UI Andre Rahadian/Foto: gatra.com

Buat apa tunda pilkada di Indonesia jika pilpres di Amerika saja jalan terus?

Kira-kira demikian apologi Menkopolhukam Mahfud MD saat menanggapi desakan penundaan pilkada.

Belakangan memang terasa sangat kuat desakan aspirasi publik agar pilkada di 270 daerah di Indonesia ditunda guna menghindari timbulnya kluster pilkada yang semakin memperparah penyebaran COVID-19.

Dalam keterangannya kepada wartawan pada 22 September 2020, sebagaimana diberitakan oleh Kontan.co.id, Mahfud MD menjelaskan empat alasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak menunda pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia dan tetap menggelarnya pada 9 Desember 2020.

Ada pun keempat alasan tersebut adalah (1) untuk tetap menjamin hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih dalam Pilkada 2020; (2) karena tidak ada kepastian kapan bencana COVID-19 berakhir; (3) karena Jokowi tidak ingin ke-270 daerah tersebut dipimpin Pelaksana Tugas (Plt) dalam waktu yang bersamaan, yang notabene tidak bisa mengambil keputusan strategis; dan (4) sebenarnya pilkada telah ditunda dari bulan September ke bulan Desember.

Untuk alasan kedua, Mahfud menambahkan ilustrasi betapa negara Amerika Serikat yang memiliki kasus corona termasuk tertinggi di dunia namun tetap menghelat pemilihan presiden (pilpres).

Argumentasi Profesor Mahfud MD, yang juga mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), tersebut, seperti biasa, terkesan logis dan meyakinkan. Kendati sebenarnya membandingkan pilkada di Indonesia dan pilpres Amerika adalah laksana membandingkan durian dengan semangka.

Di Amerika Serikat sendiri sempat mengemuka wacana penghentian pilpres di saat pandemi dengan alasan yang sama seperti argumentasi penundaan pilkada di Indonesia.

Namun wacana penghentian pilpres tersebut berimplikasi politis karena dicurigai sebagai upaya Partai Republik dan Presiden Donald Trump sebagai pihak petahana untuk mengulur waktu guna mengonsolidasikan kekuatan politiknya. Karena saat itu elektabilitas Trump tertinggal sekian poin dari Joe Biden, rivalnya dari Partai Demokrat, dalam berbagai survei yang dirilis beberapa lembaga survei.

Alhasil, opsi menghentikan atau menunda pilpres akan semakin memperburuk kondisi politik di Amerika Serikat yang tengah digoyang isu rasialis dengan rangkaian unjuk rasa Black Lives Matter yang memprotes pembunuhan warga kulit hitam oleh polisi kulit putih.

Di samping itu, sebagai eksekutif, Donald Trump tidak dapat menghentikan, menunda atau membatalkan pemilihan presiden yang diatur berdasarkan undang-undang federal harus dilaksanakan pada hari Selasa pertama di bulan November.

Hal tersebut hanya dapat diubah melalui undang-undang yang harus disahkan oleh Kongres dan ditandatangani oleh presiden. Jika pun pihak eksekutif atau presiden mengajukan penundaan, penghentian atau pembatalan pilpres, prosesnya harus diuji di pengadilan yang tentu akan memakan waktu lama.

Berbeda dengan pilkada di Indonesia yang dominan berada dalam ranah pihak eksekutif (baca: Presiden Jokowi). Dan tidak ada implikasi politis apa pun yang krusial dan darurat sekiranya pilkada ditunda, setidaknya hingga tahun depan, 2021.

Bahkan jika Presiden Jokowi bersikukuh pilkada harus terus dilangsungkan, hal itu semakin mengonfirmasikan dugaan publik terkait ambisi membangun dinasti politik dengan berlaganya anak dan menantu sang presiden di arena pemilihan wali kota Solo dan Medan.

Di sisi lain, ada inkonsistensi di pihak pemerintah pusat. Sementara pemilihan kepala desa (pilkades) di 3000 desa di seluruh Indonesia ditunda berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian karena dianggap rentan berpotensi memperluas penyebaran COVID-19, pilkada di 270 daerah yang skalanya lebih besar justru dipaksakan dihelat.

Untuk level yang lebih kecil, seperti yang dicontohkan oleh Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Gubernur Anies Baswedan menunda pemilihan ketua Rukun Tetangga (RT) dan ketua Rukun Warga (RW) di Jakarta yang masa baktinya berakhir pada tahun ini sampai pandemi dinyatakan berakhir. Masa bakti para ketua RT dan RW kemudian diperpanjang, atau dapat ditetapkan caretaker, berdasarkan surat keputusan lurah setempat.

Terkait inkonsistensi pemerintah pusat, tidak heran di media sosial beredar berbagai meme dan postingan yang menyindir inkonsistensi pemerintah tersebut. Seperti salah satunya yang berbunyi: "Corona dapat memaksa orang di rumah saja, bekerja dan beribadah di rumah dan melarang belajar di sekolah. Tapi corona tidak bisa menunda pilkada. Apakah corona tim sukses?"

Mengapa pilkada harus ditunda?

Dari pelbagai sumber, tetap digelarnya pilkada dengan rangkaian kampanyenya dikhawatirkan menimbulkan kerumunan massa yang berpotensi menyebabkan hingga 5 juta orang terinfeksi virus corona hingga proses pilkada rampung pada 9 Desember 2020.

Selama proses kampanye yang tengah berlangsung selama Oktober ini saja, menurut berbagai berita yang beredar, sudah ada sekitar 5 calon kepala daerah yang dinyatakan positif COVID-19.

Hingga akhir September 2020, sudah tercatat sekitar 300 kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan pasangan calon kepala daerah (paslon kada) selama proses pilkada yang kebanyakan karena pengerahan massa.

Jika, terkait unjuk rasa (unras) UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang saat ini terus berlangsung, pemerintah pusat begitu bersemangat meredamnya dengan alasan berpotensi memperluas klaster penyebaran corona, lantas mengapa untuk pilkada ini tidak dipertimbangkan merebaknya klaster pilkada?

Bukankah esensi kerumunan massa demonstran dan massa arak-arakan kampanye pilkada sejatinya sama?

Ketua Umum ILUNI UI Andre Rahadian/Foto: gatra.com
Ketua Umum ILUNI UI Andre Rahadian/Foto: gatra.com

Kekhawatiran ini juga yang disuarakan oleh berbagai kalangan, termasuk oleh kalangan akademisi. Salah satunya adalah Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Andre Rahadian, yang juga ketua tim koordinator relawan nasional Satgas COVID-19, dalam sebuah diskusi virtual pada September 2020.

"Kita memang harus realistis dan melihat fakta bahwa penularan (COVID-19) masih meningkat trennya. Selain itu, kondisi tidak berkumpul dalam proses pilkada merupakan hal yang sulit dihindari," ujar alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) angkatan 1991 tersebut.

Sebagaimana dikutip dari Antaranews.com, Andre juga menengarai kesulitan yang akan terjadi di sektor kesehatan jika pilkada menimbulkan peningkatan angka korban terinfeksi COVID-19.

Ditambah lagi, menurut pria berdarah Minang itu, infrastruktur digital juga dinilai belum merata terutama di daerah-daerah luar Jawa. Jika pilkada dilaksanakan dengan kerangka kerja seperti sebelum pandemi, dikhawatirkan justru akan memungkinkan penularan COVID-19 yang lebih luas.

"Jika tidak memungkinkan untuk menunda, tidak harus sampai COVID-19 selesai, tapi setidaknya sampai persiapannya lebih siap," ungkap Andre yang juga pemilik salah satu firma hukum papan atas di Indonesia.

Namun sepertinya seruan berbagai pihak tersebut laksana tetesan air hujan yang jatuh di gurun pasir. Dengan melihat gelagat pemerintah pusat yang kerap berlindung dengan frasa azimat "dengan tetap menjalankan protokol kesehatan covid-19", ditambah dengan kepercayaan diri yang teramat kuat untuk meredam desakan publik sebagaimana yang selama ini terbukti, tampaknya kita harus bersiap-siap dengan ledakan "bom waktu" klaster pilkada pada beberapa bulan mendatang.

Rakyat terus berteriak hingga serak, karavan raja tetap melaju berderak. Jokowi bergeming. Pilkada jalan terus, tanpa tedeng aling-aling. Persis sebagaimana istilah tren viral saat ini: "jika pemerintah bilang pilkada jalan terus ya jalan terus".

Dan sebagai warga bangsa, dan juga konstituen di pilkada dan pilpres, kita kembali disadarkan dengan fakta bahwa kita tidak bisa (dan memang tidak semestinya) bergantung sepenuhnya pada janji dan perkataan para politisi. Lagi-lagi segalanya terpulang pada political will atau kemauan politik.

Akhirul kalam, ada kutipan pepatah bahasa Jerman,"Wenn man will, sucht man wege. Wenn nicht will, sucht man gruende."

Jika orang punya kemauan, ia akan selalu cari jalan. Jika tidak punya kemauan, ia akan selalu mencari alasan.

Jakarta, 26 Oktober 2020

Referensi:

1. kontan

2. liputan6

3. antaranews

Baca Juga:

1. Kiat Membuat Tulisan yang Membumi

2. Kisah Para janda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun