Jika, terkait unjuk rasa (unras) UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang saat ini terus berlangsung, pemerintah pusat begitu bersemangat meredamnya dengan alasan berpotensi memperluas klaster penyebaran corona, lantas mengapa untuk pilkada ini tidak dipertimbangkan merebaknya klaster pilkada?
Bukankah esensi kerumunan massa demonstran dan massa arak-arakan kampanye pilkada sejatinya sama?
Kekhawatiran ini juga yang disuarakan oleh berbagai kalangan, termasuk oleh kalangan akademisi. Salah satunya adalah Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Andre Rahadian, yang juga ketua tim koordinator relawan nasional Satgas COVID-19, dalam sebuah diskusi virtual pada September 2020.
"Kita memang harus realistis dan melihat fakta bahwa penularan (COVID-19) masih meningkat trennya. Selain itu, kondisi tidak berkumpul dalam proses pilkada merupakan hal yang sulit dihindari," ujar alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) angkatan 1991 tersebut.
Sebagaimana dikutip dari Antaranews.com, Andre juga menengarai kesulitan yang akan terjadi di sektor kesehatan jika pilkada menimbulkan peningkatan angka korban terinfeksi COVID-19.
Ditambah lagi, menurut pria berdarah Minang itu, infrastruktur digital juga dinilai belum merata terutama di daerah-daerah luar Jawa. Jika pilkada dilaksanakan dengan kerangka kerja seperti sebelum pandemi, dikhawatirkan justru akan memungkinkan penularan COVID-19 yang lebih luas.
"Jika tidak memungkinkan untuk menunda, tidak harus sampai COVID-19 selesai, tapi setidaknya sampai persiapannya lebih siap," ungkap Andre yang juga pemilik salah satu firma hukum papan atas di Indonesia.
Namun sepertinya seruan berbagai pihak tersebut laksana tetesan air hujan yang jatuh di gurun pasir. Dengan melihat gelagat pemerintah pusat yang kerap berlindung dengan frasa azimat "dengan tetap menjalankan protokol kesehatan covid-19", ditambah dengan kepercayaan diri yang teramat kuat untuk meredam desakan publik sebagaimana yang selama ini terbukti, tampaknya kita harus bersiap-siap dengan ledakan "bom waktu" klaster pilkada pada beberapa bulan mendatang.
Rakyat terus berteriak hingga serak, karavan raja tetap melaju berderak. Jokowi bergeming. Pilkada jalan terus, tanpa tedeng aling-aling. Persis sebagaimana istilah tren viral saat ini: "jika pemerintah bilang pilkada jalan terus ya jalan terus".
Dan sebagai warga bangsa, dan juga konstituen di pilkada dan pilpres, kita kembali disadarkan dengan fakta bahwa kita tidak bisa (dan memang tidak semestinya) bergantung sepenuhnya pada janji dan perkataan para politisi. Lagi-lagi segalanya terpulang pada political will atau kemauan politik.