Di samping itu, sebagai eksekutif, Donald Trump tidak dapat menghentikan, menunda atau membatalkan pemilihan presiden yang diatur berdasarkan undang-undang federal harus dilaksanakan pada hari Selasa pertama di bulan November.
Hal tersebut hanya dapat diubah melalui undang-undang yang harus disahkan oleh Kongres dan ditandatangani oleh presiden. Jika pun pihak eksekutif atau presiden mengajukan penundaan, penghentian atau pembatalan pilpres, prosesnya harus diuji di pengadilan yang tentu akan memakan waktu lama.
Berbeda dengan pilkada di Indonesia yang dominan berada dalam ranah pihak eksekutif (baca: Presiden Jokowi). Dan tidak ada implikasi politis apa pun yang krusial dan darurat sekiranya pilkada ditunda, setidaknya hingga tahun depan, 2021.
Bahkan jika Presiden Jokowi bersikukuh pilkada harus terus dilangsungkan, hal itu semakin mengonfirmasikan dugaan publik terkait ambisi membangun dinasti politik dengan berlaganya anak dan menantu sang presiden di arena pemilihan wali kota Solo dan Medan.
Di sisi lain, ada inkonsistensi di pihak pemerintah pusat. Sementara pemilihan kepala desa (pilkades) di 3000 desa di seluruh Indonesia ditunda berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian karena dianggap rentan berpotensi memperluas penyebaran COVID-19, pilkada di 270 daerah yang skalanya lebih besar justru dipaksakan dihelat.
Untuk level yang lebih kecil, seperti yang dicontohkan oleh Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Gubernur Anies Baswedan menunda pemilihan ketua Rukun Tetangga (RT) dan ketua Rukun Warga (RW) di Jakarta yang masa baktinya berakhir pada tahun ini sampai pandemi dinyatakan berakhir. Masa bakti para ketua RT dan RW kemudian diperpanjang, atau dapat ditetapkan caretaker, berdasarkan surat keputusan lurah setempat.
Terkait inkonsistensi pemerintah pusat, tidak heran di media sosial beredar berbagai meme dan postingan yang menyindir inkonsistensi pemerintah tersebut. Seperti salah satunya yang berbunyi: "Corona dapat memaksa orang di rumah saja, bekerja dan beribadah di rumah dan melarang belajar di sekolah. Tapi corona tidak bisa menunda pilkada. Apakah corona tim sukses?"
Mengapa pilkada harus ditunda?
Dari pelbagai sumber, tetap digelarnya pilkada dengan rangkaian kampanyenya dikhawatirkan menimbulkan kerumunan massa yang berpotensi menyebabkan hingga 5 juta orang terinfeksi virus corona hingga proses pilkada rampung pada 9 Desember 2020.
Selama proses kampanye yang tengah berlangsung selama Oktober ini saja, menurut berbagai berita yang beredar, sudah ada sekitar 5 calon kepala daerah yang dinyatakan positif COVID-19.
Hingga akhir September 2020, sudah tercatat sekitar 300 kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan pasangan calon kepala daerah (paslon kada) selama proses pilkada yang kebanyakan karena pengerahan massa.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!