Melihat Google Doodle tersebut, seketika saya teringat pertanyaan seorang kawan sekian tahun lalu, "Benyamin Sueb itu Betawi asli bukan sih?"
Sebuah pertanyaan yang sejatinya lebih merupakan gugatan. Karena saat itu kami sedang nongkrong bareng dan membahas banyak hal ngalor-ngidul, termasuk soal ayah sang legenda Betawi tersebut yang mantan tentara bernama Sukirman yang berasal dari Purworejo, Jawa Tengah.
Sukirman, yang belakangan lebih dikenal dengan nama Suaeb atau Sueb, yang kemudian menjadi pegawai bengkel kereta api di Manggarai, Jaksel, menikahi Siti Aisyah, seorang puteri jawara dan tuan tanah Betawi di Kemayoran, Jakarta Pusat, bernama Haji Un atau Haji Ung. Sering disebut juga Haji Jiung.
Nah, Haji Jiung ini kemudian diabadikan namanya untuk Jalan Haji Jiung, yang berdekatan dengan Jalan Landas Pacu Kemayoran, (bekas landasan pacu Bandara Kemayoran) yang kemudian berganti nama menjadi Jalan Benyamin Sueb, sesuai nama sang cucu, pada 6 Desember 1995.
Seseorang yang telah diabadikan namanya menjadi nama tempat atau nama jalan tentulah bukan orang sembarangan. Demikian juga Haji Jiung dan Benyamin Sueb. Pastilah ada pertimbangan nama besar dan jasa-jasa mereka selama hidup hingga mendapat privilege seperti itu.
Pertanyaan yang serupa pernah menyeruak ketika Fauzi Bowo, wakil gubernur dari jalur pejabat karier pendamping Gubernur Sutiyoso maju ke pilkada DKI Jakarta pada 2007 melawan pasangan calon (paslon) Adang Darajatun (mantan wakapolri berdarah Sunda) dan Dani Anwar (pengusaha asli Betawi Tanah Abang).
Foke, panggilan akrab dari Fauzi Bowo, yang mantan dosen Teknik Universitas Indonesia dan juga mantan duta besar Indonesia untuk Jerman, dianggap berdarah "separuh Betawi" karena sang ayah berasal dari Malang, Jawa Timur. Sementara sang ibu adalah puteri tuan tanah Betawi yang masih keturunan Mohammad Husni Thamrin, seorang pejuang nasional Indonesia.
Mohammad Husni Thamrin (MHT) sendiri, yang namanya diabadikan Gubernur Ali Sadikin menjadi nama program perbaikan jalan kampung di Jakarta pada 1970-an, yakni Program MHT, konon kabarnya masih keturunan dari Gubernur VOC, dan juga pendiri negara Singapura, Thomas Stamford Raffles dari salah satu nyai atau selir yang dikawininya.
Jika Benyamin Sueb dan Foke diragukan kebetawiannya hanya karena berdarah "separuh Betawi", bagaimana pula dengan S.M. Ardan, Datuk Aman Majoindo, dan Rano Karno?
S.M. Ardan, yang bernama asli Syahmardan, adalah putera Medan, Sumatera Utara, yang banyak menulis karya sastra dalam dialek Betawi. Salah satunya yang terkenal adalah kumpulan cerpen Terang Bulan Terang Di Kali (1956) yang mengisahkan pelbagai kisah masyarakat Betawi dengan segala pernak-perniknya.
Dan Datuk Aman Majoindo adalah penulis berdarah Minang yang menulis novel Si Doel Anak Betawi (1956). Novel itu kemudian difilmkan dengan judul yang sama pada 1972 oleh sutradara Sjuman Djaja (ayah drummer Wong Aksan) dengan dibintangi oleh Benyamin Sueb dan Rano Karno yang berperan sebagai ayah dan anak. Sekuelnya berjudul Si Doel Anak Modern dirilis pada 1976.