Dalam seni pengolahan kata dan diplomasi lisan, kemahiran Mahfud, sesuai predikat profesornya, yang tentu saja bukan merupakan panggilan sayang, jelas di atas Anies Baswedan yang bergelar Doktor. Tapi demikianlah manusia. Ia tempatnya salah dan lupa. To err is human.
Dan belum lagi terkadang kita mengidap miopia alias rabun ayam untuk hal-hal buruk berskala besar di dekat kita namun sangat jeli untuk keburukan orang lain kendati setitik. Gajah di pelupuk mata tidak tampak; semut di seberang lautan tampak.
Back to laptop, lantas apakah motif manuver Mahfud adalah untuk menyigi peluangnya dalam bursa pencapresan pada pilpres 2024?
Entahlah. Semua motif itu mustahak adanya. Yang jelas, sebagaimana dipaparkan panjang lebar di atas, seorang Mahfud MD sangat potensial dan lengkap sebagai pribadi dan sebagai kandidat pemimpin bangsa ini.
Jikalau Prof. Mahfud MD pandai memainkan irama politik, tekun merawat energi dan momentum serta rela bertungkus lumus dalam memperluas basis konstituen dan jejaring pendukung, tidak mustahil namanya akan diperhitungkan sebagai kompetitor alternatif selain para kandidat yang terlebih dulu populer seperti Prabowo Soebianto, Puan Maharani, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Gatot Nurmantyo, Agus Harimurti Yudhoyono atau Tri Rismaharini.
Jika seorang Giring Ganesha punya nyali mencalonkan diri, mengapa seorang Profesor Mahfud MD tidak berani?
Namun, sebagai catatan akhir, tampaknya untuk menjadi presiden atau pemimpin negeri ini, sebagaimana yang sudah-sudah, berdasarkan perjalanan sejarah bangsa ini haruslah memiliki atau didukung dengan magic factor 3M, yakni Material, Momentum, dan Miracle (Keajaiban).
Ambil contoh Soeharto dan Jokowi, misalnya.
Siapa yang mengira Soeharto, seorang anak desa miskin dan tentara KNIL yang notabene didikan penjajah Belanda serta pernah nyaris dipecat dari TNI karena kasus korupsi beras di kesatuannya semasa Revolusi Kemerdekaan, bisa tampil terdepan menggantikan Soekarno sebagai presiden RI?
Jangan lupakan momentum G30S PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia). Terlepas apakah "kudeta gagal" itu rekayasa atau faktor kecelakaan sejarah.
Dan siapa pula yang mengira seorang pedagang mebel dari kota kecil Solo seperti Jokowi, yang semasa Reformasi 1998 tidak terlibat dalam pusaran perjuangan Reformasi di Jakarta, akhirnya sukses meraih tampuk kepresidenan bahkan selama 2 periode berturut-turut, melebihi Megawati Soekarnoputri yang merupakan "atasan" dan mentor politiknya sendiri?