Itu jelas sebuah klaim prematur yang mengingatkan trauma publik atas deretan kasus penyerangan para ulama sebelumnya, yang rata-rata dilakukan orang-orang yang diklaim sebagai ODGJ, sehingga tidak berlanjut ke meja hijau atau tidak diteruskan proses penyelidikannya oleh polisi.
Pernyataan Mahfud sedikit banyak meredam praduga publik (yang kian tersulut dengan fakta bahwa si pelaku sebelum beraksi tampak berlaku normal selayaknya orang waras dengan rajin bermedsos ria) terhadap pemerintahan Jokowi yang harus diakui menghadapi keterbelahan atau polarisasi masyarakat semenjak pemilihan presiden (pilpres) yang sengit pada 2014 dan 2019.
Dalam konteks ini, Mahfud boleh dibilang relatif berhasil menjalankan peran dengan bijak.
Seperti menarik rambut dalam tepung; rambut jangan putus, tepung jangan bergoyang, demikian kata pepatah. Aspirasi publik akan keadilan bagi umat Islam, yang direpresentasikan melalui figur Syekh Ali Jaber, sang pendakwah yang dikenal lembut dan moderat, terpenuhi namun citra baik pemerintahan Jokowi, sebagaimana yang selalu diupayakan oleh Jokowi secara konsisten, juga tetap terjaga.
Akan tetapi sebagian kalangan menganggap apa yang dilakukan Mahfud suatu hal normatif dan memang sudah seharusnya sebagai bagian dari tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) sebagai menteri koordinator di bidang politik, hukum dan keamanan.
Beda halnya jika seorang menteri yang dimandatkan mengurus bidang kemaritiman dan investasi ikut-ikutan berkomentar atau cawe-cawe soal vaksin corona atau perihal jabatan politik seorang kepala daerah. Itu jelas off-side, jika di lapangan hijau. Kecuali jika wasit membiarkan atau bahkan menginstruksikan. Tak bisalah kita berkata-kata lagi. Sistem yang ngawur binti amburadul seperti itu memang tak layak dikomentari. Dirombak, jika tak bisa diperbaiki, atau dijauhi, sebagai langkah akhir.
Namun, sebagaimana menonjolnya baju putih di antara tumpukan baju hitam, demikianlah posisi Mahfud. Dan secara jujur memang harus dikatakan demikian.
Di tengah pelbagai pernyataan atau tindakan kontroversial rekan-rekannya di kabinet Jokowi (seperti tudingan "hafiz good looking radikal" dari Menag atau "kalung anti-corona" dari Mentan), sekadar menyebut beberapa, maka pernyataan atau instruksi Mahfud tersebut laksana oase di tengah gurun yang panas. Menyejukkan. Bikin adem.
Baru begitu saja kok sudah puas? Barangkali ada nyinyiran demikian.
Bro, jika kita tak bisa dapat 100 persen, setidaknya kita tidak kehilangan 100 persen, barangkali demikian argumen simpelnya. Atau dalam kaidah fikih, yang sering dikutip kalangan ulama NU, yakni dar'ul mafasid muqoddamun 'ala jalbil masholih (mencegah kemudaratan atau keburukan lebih diutamakan ketimbang melakukan upaya perbaikan).
Di tengah situasi kondisi yang penuh ketidakpastian saat ini, kita memang harus realistis dalam hal apa pun. Setidaknya, bukankah bangsa ini jadi lebih adem dengan pernyataan Prof. Mahfud yang tegas dan menyejukkan tersebut?