Dengan percaya diri, sang pemuda menyodorkan surat numpang nikah yang diurusnya dengan "jasa" ketua RT, RW, Kelurahan hingga KUA di tempat asalnya.
"Baik. Si Mas sudah lengkap surat-suratnya. Mbak mana suratnya?"
"Surat apa?" tanya sang gadis bingung.
Setengah heran, si ibu menjelaskan bahwa tidak hanya pihak laki-laki yang harus mengurus surat numpang nikah tapi pihak perempuan juga harus mengurus surat pengantar nikah.
Lebih aneh lagi, mungkin, jika si ibu melihat catatan usia pasangan tersebut yang bisa-bisanya abai dengan pengetahuan "sepele" tersebut. Barangkali si ibu mengurut dada heran sambil membatin, "Pasangan yang aneh..."
Sebenarnya si ibu pencatat di KUA bukan orang pertama yang barangkali berucap demikian.Â
Saat pasangan itu hendak melangsungkan khitbah atau lamaran beberapa bulan sebelumnya, pihak keluarganya juga berkomentar,"Duh, pasangan santai!"
Saat itu mereka baru tahu bahwa semua persiapan pinangan, termasuk beli cincin, hanya dilakukan dalam 2 hari jelang hari pinangan. Keduanya pun cuma senyum cengengesan. Barangkali itulah kesamaan yang menyatukan mereka.
Back to laptop, setelah terhambat urusan di KUA, sang gadis yang "bermasalah" pun mengurus surat pengantar menikah di RT, RW hingga Kelurahan.
Berbagai perjuangan dilalui mulai dari Pak RT yang hanya bisa ditemui pada waktu malam saja (tolong, jangan samakan ia dengan drakula!) karena sibuk kerja hingga pegawai kelurahan yang tukang ngebodor (baca: melawak) yang mampu mengetik dua lembar surat dalam 2 jam. Suatu rekor tersendiri, bukan?