Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menikah Itu Susah-susah Gampang

31 Agustus 2020   00:03 Diperbarui: 1 September 2020   03:22 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buku nikah di Indonesia. (sumber gambar: SHUTTERSTOCK/RAHADIANPERWIRANEGARA)

Menikah, termasuk mengurus pernikahan, itu susah-susah gampang.

Seorang teman bilang bahwa pernikahan itu tergantung cara kita memandang. Dipandang susah ya susah, dipandang gampang ya jadinya gampang. Termasuk mengurus administrasi perizinannya. Seperti salah satu judul film legendaris Warkop DKI di era 90-an, Susah-Susah Gampang.

Tapi, lanjut seorang teman yang lain, jika sudah dijalani ya jadi gampang. Seorang pemuda yang sudah khidmat mendengarkan petuahnya jadi rada dongkol sambil membatin,"Ya, iyalah!"

Tapi, tak heran, ini masih mengutip kata orang, bahwa orang yang sudah menikah lebih mudah untuk menikah lagi ketimbang lajang, yang notabene miskin ilmu dan pengalaman, dan materi pula, untuk menikah pertamakalinya. 

Entahlah, terserah Anda percaya atau tidak. Konon, demikianlah teorinya.

Singkat cerita, di suatu sore hari kerja, seorang pemuda dan seorang gadis berjalan kaki ke sebuah Kantor Urusan Agama (KUA) di kawasan Jakarta Selatan yang letaknya berbatasan dengan Depok, Jawa Barat. Langkah pasangan itu gontai. Plus wajah lelah dan cemberut. Maklum, mereka habis long march 300 meteran dari ujung jalan utama.

Awalnya, waktu mereka bertanya kepada seorang lelaki yang nongkrong di ujung gang setiba turun dari angkot, apa jawab sang lelaki?

"KUA? Dekat kok. Terus lurus aja!"

Dengan husnuzon tinggi, sekaligus mengirit ongkos, keduanya menampik tawaran gerombolan tukang ojek pangkalan yang sudah dengan baik hati menyorongkan sepeda motor mereka. 

Kedua sejoli itu berjalan mantap. Mereka terus berjalan dengan asumsi "dekat" adalah sekitar maksimal 50 meter. Mereka berjalan terus. Terus, dan terus, dan kian lama jalan kian panjang bagai iklan cokelat di TV.

Alamak! Ini mah sudah kelewatan dari kategori dekat, keduanya membatin sembari berpandangan.

Pasangan itu berhenti sejenak di tepi jalan panjang lurus yang rimbun dan sepi.

Mau naik ojek? Kadung jauh betul.

Mau jalan? Tidak jelas seberapa "dekat" lagi.

Bertanyalah keduanya kepada seorang warga setempat. Setelah bertanya dengan teknik interview yang lebih canggih, didapatlah info bahwa "target operasi" sudah dekat, sekitar 100 meter lagi di ujung tikungan.

Alhasil, dengan meneguhkan niat, sampailah mereka di depan sebuah kantor instansi pemerintah yang nyaris tertutup rimbunnya pepohonan. Maklum, KUA yang satu ini terletak tak jauh dari Setu Babakan, sebuah kampung budaya Betawi yang diresmikan pemda DKI beberapa tahun sebelumnya.

Apakah perjuangan keduanya mencatatkan pernikahan hari itu berhasil?

Jam dinding menunjukkan pukul 14.30 WIB. Para pegawai KUA sebagian sudah terlihat bersantai. Seorang pegawai wanita di meja yang menghadap ke arah pintu tengah memberesi isi tasnya. Namun buku besar di hadapannya masih terbuka lebar.

Ah, masih ada kesempatan, batin sang pemuda yang hari itu terpaksa membolos dari jadwal kerjanya di sebuah rumah produksi sitkom untuk mengurusi macam-macam persiapan nikahan mulai dari cetak foto hingga editing kartu undangan.

Setelah si ibu pencatat ramah berbasa-basi, sepasang muda-mudi itu mengutarakan niat untuk mencatatkan pernikahan.

Dalam hitung-hitungan mereka, jika jadwal resmi kantor pemerintah sampai pukul 17.00 WIB maka dapatlah hari itu mereka mencatatkan jadwal pernikahan sekaligus mendapatkan penghulu untuk hari-H nanti.

Dengan percaya diri, sang pemuda menyodorkan surat numpang nikah yang diurusnya dengan "jasa" ketua RT, RW, Kelurahan hingga KUA di tempat asalnya.

"Baik. Si Mas sudah lengkap surat-suratnya. Mbak mana suratnya?"

"Surat apa?" tanya sang gadis bingung.

Setengah heran, si ibu menjelaskan bahwa tidak hanya pihak laki-laki yang harus mengurus surat numpang nikah tapi pihak perempuan juga harus mengurus surat pengantar nikah.

Pasutri dan buah pernikahannya/Dokpri
Pasutri dan buah pernikahannya/Dokpri

Lebih aneh lagi, mungkin, jika si ibu melihat catatan usia pasangan tersebut yang bisa-bisanya abai dengan pengetahuan "sepele" tersebut. Barangkali si ibu mengurut dada heran sambil membatin, "Pasangan yang aneh..."

Sebenarnya si ibu pencatat di KUA bukan orang pertama yang barangkali berucap demikian. 

Saat pasangan itu hendak melangsungkan khitbah atau lamaran beberapa bulan sebelumnya, pihak keluarganya juga berkomentar,"Duh, pasangan santai!"

Saat itu mereka baru tahu bahwa semua persiapan pinangan, termasuk beli cincin, hanya dilakukan dalam 2 hari jelang hari pinangan. Keduanya pun cuma senyum cengengesan. Barangkali itulah kesamaan yang menyatukan mereka.

Back to laptop, setelah terhambat urusan di KUA, sang gadis yang "bermasalah" pun mengurus surat pengantar menikah di RT, RW hingga Kelurahan.

Berbagai perjuangan dilalui mulai dari Pak RT yang hanya bisa ditemui pada waktu malam saja (tolong, jangan samakan ia dengan drakula!) karena sibuk kerja hingga pegawai kelurahan yang tukang ngebodor (baca: melawak) yang mampu mengetik dua lembar surat dalam 2 jam. Suatu rekor tersendiri, bukan?

Sang gadis pun maklum karena si pegawai kelurahan bukanlah jago ketik seperti calon suaminya yang, karena tekanan tenggat kerja, bisa terbirit-birit menerjemahkan 10 halaman dalam sejam. Ia pun menunggu dengan, terpaksa, sabar.

Setelah dua jam lebih sedikit, surat pengantar nikah pun beres. 

Tanpa periksa lagi, sang gadis segera membawa surat itu dan pulang menuju rumahnya yang hanya berjarak puluhan meter dari kantor kelurahan yang setia ditungguinya selama dua jam tadi. 

Ibunya yang menyambut di rumah segera meneliti, "Lho kok tulisannya begini?"

Sang gadis penasaran, dan melihat bagian belakang surat yang memuat keterangan: XXXXXX..DAN MENIKAHI SEORANG PEREMPUAN BERNAMA NURSALAM AR (aslinya tulisan itu dengan tulisan tangan berukir khas lulusan SR tahun 50-an).

Sang gadis mangkel. Ibunya terbahak lepas, "Jeruk kok makan jeruk?"

Akhir cerita, surat itu berhasil diperbaiki, diiringi riuh tawa sekantor kelurahan, dengan tambahan waktu 30 menit saja.

Sang gadis tidak jadi "makan jeruk". Karena sang "perempuan" dalam keterangan surat itu sudah "kembali" ke wujud aslinya. Lelaki tulen. Secara de jure dan de facto.

Dalam catatan jadwal pernikahan di KUA, tiga hari kemudian, tertera sang gadis bernama Yuni Meganingrum dan sang pemuda bernama Nursalam AR.

Dan beberapa bulan setelahnya, tanggal pernikahan mereka tercetak indah pada buku nikah masing-masing: 23 Desember 2007.

Jakarta, Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun