Malam merayap siput. Hujan menderap
Sepi meranggas hati. Dingin mendekap naluri
Mata susah pejam, angan layang liar
Kuraba sisi kasur. Kosong
Kapankah ia berpenghuni?
Hanya Takdir yang tahu
Sebagaimana pengetahuanNya akan rizki dan mati.
(Nursalam AR, Elegi Lajang, 2002)
Puisi karyaku itulah yang menemani malam-malamku saat itu sebagai lajang.
Menjadi lajang adalah berada dalam medan daya tarik-menarik antara keinginan dan pilihan. Banyak keinginan namun banyak pula pilihan.Â
Menurut Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia."Kadang manusia dihadapkan pada sebuah pilihan dalam hidupnya. Jika tidak memilih saat itu ia tidak mendapat apa-apa."
Kurang lebih seperti itu bunyinya.
Ya, memilih! Buat seorang peragu tentu alangkah beratnya. Buat seorang sembrono atau slebor sama juga sulit. Yang berbeda adalah reaksi mereka.
Si peragu akan tercenung lama dan kadang menyebalkan banyak orang karena banyaknya waktu untuk memikirkan pilihan yang akan diambil. Si sembrono justru akan tergesa-gesa mengambil pilihan tanpa masak-masak dipikir. Untuk kemudian menyesal. Si peragu juga kerap menyesal karena ia kehilangan momentum. Bukankah segala sesuatu itu indah pada masanya?
Lantas buat apa menikah?
Alhamdulillah, tiga belas tahun silam, di ujung usia 30, aku menikah. Tepatnya, sudah menikah dan kawin. Ini demi menghindari olok-olok zaman SMA dulu.
"Elo mau kawin apa nikah?"
"Emang apa bedanya?"
"Nikah pake surat. Nah, kawin cuma pake urat."
Ketika seorang lelaki, yang Muslim, menikah, akad nikahnya jelas berbunyi, "Saya terima nikah dan kawinnya fulanah binti fulan."
Jelas. Komplit. Tidak ada syak lagi. Ada senyum terkembang bahagia, ada tangis haru pecah dan ada sederet kewajiban yang datang.
Pernikahan sendiri bukanlah sebuah prestasi. Setidaknya itu jawaban pribadiku saat seorang netter, ketika dalam sebuah milis (mailing list) sekian tahun lalu meruyak kontroversi 'pernikahan adalah prestasi', bertanya via surel kepadaku.
Menikah bukan prestasi, jawabku. Tapi menikah adalah kebutuhan.
Entahlah bagaimana raut muka kawan diskusi itu di seberang sana saat menerima balasan emailku tersebut yang barangkali dianggapnya "tidak canggih". Puas atau tidaknya sang penanya, (lagi-lagi) setidaknya, itu sebuah kejujuranku terhadap diri sendiri.
Karena, bagiku pribadi, "obat mujarab" bagi seorang lelaki bujang dewasa yang "normal" adalah menikah dan memiliki istri.
Minimal ia terhindar dari dosa khayalan liar bujang di waktu malam sepi. Terlebih saat dingin hujan menggigit. Yang terutama, membuatnya jadi belajar bagaimana berkomitmen dan terikat pada sebuah hubungan yang ajeg.
Pernikahan bukanlah menyeragamkan perbedaan tetapi justru memahami perbedaan dan mencoba berkompromi dengan pasangan.
Sepekan pertama pernikahan, aku mendapati kenyataan bahwa aku dan istri tercinta punya kebiasaan tidur yang kontras.
Aku suka tidur dengan lampu terang menyala. Karena punya kebiasaan membaca buku sebelum tidur hingga tak jarang buku pun berubah jadi tatakan iler. Aku juga anti-kipas angin karena rentan masuk angin.
Namun, istriku hanya bisa tidur jika lampu dimatikan dan kipas angin wajib menyala. Gerah, katanya. Dan saat itu kami belum sanggup beli Air Conditioning (AC) atau penyejuk udara.
Alhasil, tiga hari dalam sepekan pertama tersebut, aku masuk angin dan kurang tidur, karena tak bisa tidur tanpa bacaan pengantar tidur.
Tapi akhirnya titik kompromi tercapai juga setelah terjadi negosiasi. Setelah sebulan lebih.
Masuk hari ketigapuluh sekian, lampu kamar tak selalu gelap. Terlebih jika aku harus bekerja di depan komputer atau laptop hingga dini hari.
Istriku juga mulai belajar memahami bahwa suaminya tak bisa sepenuhnya "bermetamorfosis sempurna". Ia masih saja makhluk "semi-nokturnal".
Menikah juga konon membuat kaya.
Itu kata salah satu buku panduan menikah, yang banyak aku lahap jauh sebelum menikah, yang mengutip janji Al Qur'an bahwa Allah akan memampukan orang-orang yang menikah. Sementara definisi kaya, seperti halnya sukses, cenderung relatif.
Sebagian kawan, yang sudah menikah tentunya, menafsirkannya dalam dimensi materiil alias kebendaan.
"Sebelum menikah, ane gak punya apa-apa. Sekarang, alhamdulillah, sudah punya kendaraan pribadi dan sedikit tabungan."
Sobat yang lain memaknainya dalam dimensi spiritual. "Yah, biar belum punya apa yang banyak kami mau tetapi batin saya tenang setelah menikah."
Ya, apa pun alasannya, tetap berterima. Tak usahlah jadi kontroversi viral di media sosial, karena percuma saja. Apa pun hasil debatnya, yang menikah tetap menikah, dan yang jomlo tetap jomlo juga, jika belum saatnya. :).
Setidaknya, sesuai pengalaman pribadi, setelah menikah Anda akan kaya, dalam artian akan memiliki apa-apa yang belum Anda miliki.
Setidaknya memiliki istri atau suami, dan kemudian anak (jika dipercaya Tuhan). Dan bertambahlah jumlah keluarga besar. Ada mertua, saudara ipar dan anggota keluarga semenda lainnya. Dan juga tambahan kenalan, seperti teman-teman pasangan kita atau kolega lingkaran pergaulan sosial atau profesinya.
Maka, terbentanglah di hadapan Anda, jejaring silaturahim yang luas. Dan Tuhan menjanjikan syarat panjangnya umur dan berlimpahnya rizki adalah silaturahim.
Jadi, kendati panjang dan mungkin berat meniti jalan menuju pernikahan, berteguhlah, Sobat, karena inilah jalan kedewasaan, jalan fitrah.
Jakarta, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H