Pernikahan sendiri bukanlah sebuah prestasi. Setidaknya itu jawaban pribadiku saat seorang netter, ketika dalam sebuah milis (mailing list) sekian tahun lalu meruyak kontroversi 'pernikahan adalah prestasi', bertanya via surel kepadaku.
Menikah bukan prestasi, jawabku. Tapi menikah adalah kebutuhan.
Entahlah bagaimana raut muka kawan diskusi itu di seberang sana saat menerima balasan emailku tersebut yang barangkali dianggapnya "tidak canggih". Puas atau tidaknya sang penanya, (lagi-lagi) setidaknya, itu sebuah kejujuranku terhadap diri sendiri.
Karena, bagiku pribadi, "obat mujarab" bagi seorang lelaki bujang dewasa yang "normal" adalah menikah dan memiliki istri.
Minimal ia terhindar dari dosa khayalan liar bujang di waktu malam sepi. Terlebih saat dingin hujan menggigit. Yang terutama, membuatnya jadi belajar bagaimana berkomitmen dan terikat pada sebuah hubungan yang ajeg.
Pernikahan bukanlah menyeragamkan perbedaan tetapi justru memahami perbedaan dan mencoba berkompromi dengan pasangan.
Sepekan pertama pernikahan, aku mendapati kenyataan bahwa aku dan istri tercinta punya kebiasaan tidur yang kontras.
Aku suka tidur dengan lampu terang menyala. Karena punya kebiasaan membaca buku sebelum tidur hingga tak jarang buku pun berubah jadi tatakan iler. Aku juga anti-kipas angin karena rentan masuk angin.
Namun, istriku hanya bisa tidur jika lampu dimatikan dan kipas angin wajib menyala. Gerah, katanya. Dan saat itu kami belum sanggup beli Air Conditioning (AC) atau penyejuk udara.
Alhasil, tiga hari dalam sepekan pertama tersebut, aku masuk angin dan kurang tidur, karena tak bisa tidur tanpa bacaan pengantar tidur.
Tapi akhirnya titik kompromi tercapai juga setelah terjadi negosiasi. Setelah sebulan lebih.