Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

ABK WNI Itu "Dibuang" atau "Dilarung", Bu Menlu?

12 Mei 2020   17:15 Diperbarui: 12 Mei 2020   17:08 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah sedih ABK dieksploitasi di kapal Long Xing 629 berbendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sungguh menguras air mata dan emosi bangsa Indonesia. Kisah eksploitasi dan perbudakan para Anak Buah Kapal (ABK) Warga Negara Indonesia (WNI) di kapal cukong Tionghoa itu yang berujung pada "pembuangan" jasad dua orang ABK WNI berusia muda yang meninggal dunia karena sakit ke laut. Diduga karena keduanya kurang makan dan tidak sanggup menanggung penderitaan akibat praktik perbudakan tersebut.

Namun, pihak pengelola Kapal Long Xing 629 (kapal tempat mereka bekerja) dan kapal Tian Yu 8 (kapal yang mengambil oper jenazah para ABK WNI dan membuangnya ke laut) menolak mengakui melakukan "pembuangan" ("throw" atau "dump", dalam versi bahasa Inggrisnya) pada akhir Maret 2020 tersebut, mereka justru menganggap melakukan "pelarungan" ("sea burial" atau "burial at sea"), guna menghindari perjangkitan penyakit menular dari jasad kedua ABK tersebut.

Hal itu juga yang dikatakan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Republik Indonesia Retno Marsudi yang mengutip persis keterangan pihak pengelola kapal.

"Keputusan pelarungan jenazah dua orang ini diambil kapten kapal karena kematian disebabkan oleh penyakit menular dan hal itu berdasarkan persetujuan awak kapal lainnya," ujar Retno Marsudi.

Retno Marsudi, yang juga mantan duta besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda, juga menjelaskan bahwa Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing, RRT, telah mengirimkan nota diplomatik kepada pemerintah RRT untuk meminta klarifikasi ulang mengenai kasus yang menimpa kedua ABK WNI tersebut.

"Nota diplomatik tersebut sudah dijawab oleh Kemlu RRT yang menjelaskan bahwa pelarungan atau "burial at sea" dilakukan sesuai dengan praktik kelautan internasional untuk menjaga kesehatan para awak kapal lainnya sebagaimana ketentuan ILO (Organisasi Buruh Internasional)," lanjut Retno.

Publik Indonesia yang marah menuding Kemenlu RI, terutama Bu Menlu Retno, kurang tegas bersikap terhadap RRT atas kasus eksploitasi kerja yang berujung kematian kedua ABK WNI yang pertama kali diberitakan oleh media Korea Selatan MBC tersebut, dan cenderung mengamini dan memaklumi keterangan pejabat negara komunis tersebut.

Baca Juga: "Ambyar", Warisan Didi Kempot untuk Bahasa Indonesia

"Buang" versus "Larung"

Terlepas dari aspek politis yang berjalin berkelindan seputar kasus yang menimpa para ABK WNI tersebut, praktik penguburan di laut juga pernah lazim dilakukan di Indonesia.

Sebelum dilakukannya perjalanan haji dengan pesawat terbang yang berawal pada 1950-an, para ulama Nusantara mengeluarkan fatwa dibolehkannya melakukan pemakaman di laut bagi para calon jemaah haji (calhaj) yang meninggal dunia selama perjalanan berhaji dengan kapal laut.

Perjalanan haji melalui laut yang dapat memakan waktu berbulan-bulan hingga setengah tahun membutuhkan stamina yang ekstra besar dan kesehatan prima, sehingga tak ayal banyak calhaj yang wafat di tengah jalan.

Dan, demi menghindari masalah kesehatan yang berasal dari jenazah terhadap seisi kapal (para calhaj lain dan para anak buah kapal), penguburan saat itu pun dilakukan dengan menenggelamkan jenazah yang telah dibungkus dengan pelapis khusus ke laut dengan pemberat tertentu agar tidak mengambang atau mengapung.

Jika ingin membandingkan praktik penguburan di laut dengan metode "pelarungan" para ABK WNI di kapal RRT tersebut, video "pelarungan" para ABK tersebut banyak terdapat di Youtube untuk diperhatikan secara saksama apakah memenuhi kaidah kepatutan dan kekhidmatan suatu upacara pemakaman sesuai agama yang dianut para ABK tersebut, terlepas dari apakah dilakukan di darat atau di laut.

Yang juga menarik untuk disoroti adalah penggunaan diksi "pelarungan" yang digunakan oleh Menlu Retno Marsudi untuk menerjemahkan istilah "burial at sea" terhadap apa yang menimpa jenazah para ABK muda tersebut.

Alih-alih menggunakan terjemahan harfiah "pemakaman di laut", Retno justru memilih istilah "larung" atau "pelarungan".

Bahasa memang banyak dipengaruhi oleh budaya dan kepribadian para penggunanya. Dan sebagai seorang wanita Jawa, tentu Bu Menlu kental dipengaruhi oleh budaya Jawa yang melingkupi pemikiran dan pergaulannya.

Dalam khazanah budaya Jawa, "pelarungan" memang sering digunakan untuk merujuk pada upacara penguburan di sungai atau laut. Misalnya, dalam lakon pewayangan "Sumbadra Larung" yang mengisahkan seorang anggota klan Kurawa, Prabu Burisrawa, yang mengejar-ngejar Sumbadra, salah satu istri Arjuna, hingga mengakibatkan kematian sang puteri cantik tersebut. Hingga akhirnya jasad Sumbadra pun dilarung ke sungai.

Namun, istilah "larung" juga digunakan untuk ritual menghanyutkan hasil bumi atau seserahan yang dimaksudkan untuk persembahan bagi para dewa ke sungai atau ke laut.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah "larung" mengandung dua arti yakni "(1) peti mayat yang tidak berdasar, dan (2) membiarkan hanyut; menghanyutkan".

Tampaknya istilah "larung" versi KBBI belum secara tegas memasukkan makna "mengubur" atau "memakamkan" di perairan (sungai atau laut dll), yang sejatinya merupakan terjemahan yang pas untuk istilah "burial at sea" yang digunakan oleh RRT.

Nah, jika Menlu Retno Marsudi menggunakan diksi "larung", sebagai pengganti kata "buang" yang lebih terkesan pejoratif, tampaknya itu dimaksudkan sebagai penghalus atau eufemisme bahasa, sebagaimana galibnya fatsoen diplomatik, tanpa bermaksud mengatakan bahwa Bu Menlu mengamini sepenuhnya ucapan pihak pengelola kapal dan Kemenlu RRT.

Jakarta, 12 Mei 2020

Referensi:

satu, dua, tiga

Baca Juga: Takjil dan Kata-kata Salah Kaprah dalam KBBI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun