Sebelum dilakukannya perjalanan haji dengan pesawat terbang yang berawal pada 1950-an, para ulama Nusantara mengeluarkan fatwa dibolehkannya melakukan pemakaman di laut bagi para calon jemaah haji (calhaj) yang meninggal dunia selama perjalanan berhaji dengan kapal laut.
Perjalanan haji melalui laut yang dapat memakan waktu berbulan-bulan hingga setengah tahun membutuhkan stamina yang ekstra besar dan kesehatan prima, sehingga tak ayal banyak calhaj yang wafat di tengah jalan.
Dan, demi menghindari masalah kesehatan yang berasal dari jenazah terhadap seisi kapal (para calhaj lain dan para anak buah kapal), penguburan saat itu pun dilakukan dengan menenggelamkan jenazah yang telah dibungkus dengan pelapis khusus ke laut dengan pemberat tertentu agar tidak mengambang atau mengapung.
Jika ingin membandingkan praktik penguburan di laut dengan metode "pelarungan" para ABK WNI di kapal RRT tersebut, video "pelarungan" para ABK tersebut banyak terdapat di Youtube untuk diperhatikan secara saksama apakah memenuhi kaidah kepatutan dan kekhidmatan suatu upacara pemakaman sesuai agama yang dianut para ABK tersebut, terlepas dari apakah dilakukan di darat atau di laut.
Yang juga menarik untuk disoroti adalah penggunaan diksi "pelarungan" yang digunakan oleh Menlu Retno Marsudi untuk menerjemahkan istilah "burial at sea" terhadap apa yang menimpa jenazah para ABK muda tersebut.
Alih-alih menggunakan terjemahan harfiah "pemakaman di laut", Retno justru memilih istilah "larung" atau "pelarungan".
Bahasa memang banyak dipengaruhi oleh budaya dan kepribadian para penggunanya. Dan sebagai seorang wanita Jawa, tentu Bu Menlu kental dipengaruhi oleh budaya Jawa yang melingkupi pemikiran dan pergaulannya.
Dalam khazanah budaya Jawa, "pelarungan" memang sering digunakan untuk merujuk pada upacara penguburan di sungai atau laut. Misalnya, dalam lakon pewayangan "Sumbadra Larung" yang mengisahkan seorang anggota klan Kurawa, Prabu Burisrawa, yang mengejar-ngejar Sumbadra, salah satu istri Arjuna, hingga mengakibatkan kematian sang puteri cantik tersebut. Hingga akhirnya jasad Sumbadra pun dilarung ke sungai.
Namun, istilah "larung" juga digunakan untuk ritual menghanyutkan hasil bumi atau seserahan yang dimaksudkan untuk persembahan bagi para dewa ke sungai atau ke laut.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah "larung" mengandung dua arti yakni "(1) peti mayat yang tidak berdasar, dan (2) membiarkan hanyut; menghanyutkan".
Tampaknya istilah "larung" versi KBBI belum secara tegas memasukkan makna "mengubur" atau "memakamkan" di perairan (sungai atau laut dll), yang sejatinya merupakan terjemahan yang pas untuk istilah "burial at sea" yang digunakan oleh RRT.