Ditambah lagi, di saat dunia kian menyempit seiring globalisasi data dan informasi antara lain karena kehadiran Internet, saat ini di Indonesia bukan lagi era Orde Baru saat rezim penguasa leluasa mengungkung warga bangsa dengan gelontoran arus informasi satu arah, salah satunya lewat instrumen televisi negara, sekaligus televisi tunggal, yakni TVRI.
Terkecuali jika kita menginginkan hidup di negara Korea Utara dengan keberadaan rezim Kim Jong Un yang totaliter yang mengontrol sedemikian ketat arus informasi sekaligus pola pikir rakyatnya, termasuk membatasi akses Internet guna mengakses kondisi global.
Saya yakin tentu bukan keadaan negara nir-demokrasi yang seperti itu yang diinginkan Presiden Jokowi sebagai mandataris rakyat Indonesia pada pilpres 2019 kemarin.
Lantas, apakah pengungkapan data "gunung es" COVID-19 itu dapat dibaca sebagai lontaran amunisi terbaru Anies pasca-serangan isu bansos yang dilancarkan trio menteri?
Bisa jadi ya, bukankah menyerang adalah pertahanan yang terbaik?
Sebagaimana sepak bola, politik pun mengadopsi prinsip klasik tersebut. Dan sebagai sebuah permainan taktik dan siasat, apa yang dilakukan Anies sebagai politisi tentu sah-sah saja.
Kendati, sebagai warga bangsa, kita tentu prihatin dengan kegaduhan politik seputar COVID-19 ini. Namun, sebagai pelanduk di antara para gajah yang bertarung, kita berharap seluruh pertarungan itu pada ujungnya akan melahirkan kondisi "New Normal" yang lebih baik, seperti kinerja penyaluran bansos yang lebih baik dan transparansi data seputar COVID-19.
Para pihak yang bertarung pada akhirnya masing-masing "dipaksa" dan "terpaksa" untuk bekerja lebih baik dalam penyaluran bansos bagi kalangan terdampak COVID-19 dan juga lebih transparan serta jujur merilis data kasus COVID-19 dan jumlah kematiannya.
Itu semata-mata demi kemaslahatan warga bangsa di tingkat daerah dan nasional. Karena untuk merekalah, para politisi itu ada dan bekerja. Semestinya.
Jakarta, 12 Mei 2020