Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Anies Bongkar "Gunung Es" Kasus Corona, Salahkah?

12 Mei 2020   09:21 Diperbarui: 12 Mei 2020   10:21 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan dan Jokowi saat bercengkerama bersama/Sumber: Republika.co.id

Manuver Gubernur DKI Jakarta Doktor Anies Rasyid Baswedan makin ofensif saja.

Setelah sebelumnya "dikuyo-kuyo" oleh tiga menteri Jokowi sekaligus (Mensos, Menkeu, dan Menko PMK perihal dana bantuan sosial (bansos) bagi warga terdampak COVID-19, kini mantan Menteri Pendidikan Nasional tersebut blak-blakan kepada media Australia di Youtube tentang perkiraan jumlah kasus virus Corona di DKI Jakarta yang berbeda dengan data resmi yang dirilis pemerintah pusat.

"Ada dua hal yang berbeda di sini, yakni kasus COVID-19 dan hasil tes. Apa yang ditampilkan ke publik adalah hasil tes," kata Anies Baswedan saat diwawancarai wartawan The Sydney Morning Herald James Massola pada Senin, 11 Mei 2020.

Berdasarkan rujukan pada layanan pemakaman yang diselenggarakan oleh dinas pemakaman DKI Jakarta yang pada April jumlahnya melonjak menjadi 4.590 pemakaman yang sebelumnya 4.300 pada akhir Maret, maka menurut Anies, dengan mempertimbangkan Case Fatality Rate (CFR) yang sebesar 5-10 persen, maka kasus sebenarnya bisa mencapai 40-80 ribu kasus.

Ini jelas fenomena iceberg alias gunung es, di mana puncak yang tampak di permukaan laut jauh lebih kecil daripada bagian bawahnya sendiri. Fenomena "tipuan mata" seperti inilah yang kerap menjebak. Bahkan kapal pesiar legendaris Titanic pun karam dengan ratusan jiwa tewas karena menghantam gunung es di perairan lepas.

Jika itu di DKI Jakarta saja, lantas bagaimana dengan di daerah-daerah lain di Indonesia?

Tampaknya juga terjadi fenomena yang sama.

Berdasarkan catatan Koalisi Warga Lapor COVID-19, jumlah kematian akibat virus Corona jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan pemerintah pusat. Hal ini didasarkan pada penghitungan jumlah korban meninggal atas Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam pengawasan (PDP) di tujuh provinsi, yakni Banten, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Pemerintah Pusat pun dinilai hanya mencatat kematian covid-19 hanya yang sudah terkonfirmasi dari tes molekuler.

"Akibatnya, data kematian di Indonesia bisa dianggap sebagai under-reporting," kata Anggota Koalisi Warga Lapor Covid-19 Irma Hidayana.

Berdasarkan data LaporCovid-19 per 9 Mei 2020, total kematian terduga Covid-19 di Jakarta mencapai 1.505 orang, sementara, total kematian kasus positif di Jakarta mencapai 361 orang. Sementara untuk tingkat nasional, menurut data pemerintah pusat, kasus Corona mencapai 14.265 dengan kematian nyaris mencapai 1000 orang.

Baca Juga: 5 Mitos Pembunuh Mimpi Penulis

Masalah lama, medan tempur baru

Sebetulnya, jika merunut langkah-langkah Anies Baswedan sejak awal pandemi COVID-19, apa yang disampaikan sang mantan ketua Dewan Mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) tersebut bukan hal baru.

Sedari awal pada awal Maret 2020, Anies sudah mensinyalir perbedaan data pemprov DKI dan pemerintah Pusat. Termasuk juga Anies mengklaim pihaknya telah jauh lebih dahulu bertindak semenjak virus COVID-19 masih belum diidentifikasi dan masih disebut "Sindrom Virus Wuhan" pada awal 2020.

Yang baru adalah "medan tempur" yang dipilih oleh Anies untuk memaparkan perihal persengketaan data tersebut. Kini Anies memilih lebih terbuka kepada pers asing.

Salahkah?

Di mata pemerintah Pusat yang merasa tertampar, tentu salah. Bahkan kalangan Istana dengan garda pendengung (buzzer) sigap mengait-kaitkannya dengan masalah nasionalisme seorang Anies Baswedan yang notabene cucu pahlawan nasional Abdurrahman Baswedan.

Sejatinya, itu tuduhan konyol, karena, di samping itu wewenang Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta, juga mengingat kondisi pandemi COVID-19 yang bersifat global, tentu tidak terelakkan adanya aliran informasi dari luar ke Indonesia, demikian juga sebaliknya.

Alhasil, kita juga dapat meluaskan wawasan internasional, melebihi batas kolam, bahwa kontroversi Anies Baswedan versus pemerintah Pusat ini lazim adanya, sebagaimana perseteruan Presiden Erdogan versus Wali Kota Ankara (ibu kota Turki) atau Presiden Donald Trump versus Wali Kota New York Cuomo, atau Presiden Brasil Bolsoinaro dengan para gubernurnya.

Semuanya berkutat dengan isu yang sama, tentang karantina wilayah (lockdown). Dan posisi pemerintah Pusat di negara-negara itu selalu sama, yakni sebagai pihak yang defensif, menolak pengetatan. Juga dengan alasan yang sama, ekonomi. Dan Presiden Jokowi pun tak pelak ada dalam spektrum kebijakan yang sama.

Tudingan "mempermalukan negara" kepada Anies karena berbicara kepada pers Asing tentang fenomena gunung es kasus COVID-19 di Indonesia juga menggelikan. Seperti kata pepatah, "jangan karena buruk muka, lantas cermin pun dipecahkan". Atau "jika tak pandai menari, jangan lantai berjungkit disalahkan".

Ditambah lagi, di saat dunia kian menyempit seiring globalisasi data dan informasi antara lain karena kehadiran Internet, saat ini di Indonesia bukan lagi era Orde Baru saat rezim penguasa leluasa mengungkung warga bangsa dengan gelontoran arus informasi satu arah, salah satunya lewat instrumen televisi negara, sekaligus televisi tunggal, yakni TVRI.

Terkecuali jika kita menginginkan hidup di negara Korea Utara dengan keberadaan rezim Kim Jong Un yang totaliter yang mengontrol sedemikian ketat arus informasi sekaligus pola pikir rakyatnya, termasuk membatasi akses Internet guna mengakses kondisi global.

Saya yakin tentu bukan keadaan negara nir-demokrasi yang seperti itu yang diinginkan Presiden Jokowi sebagai mandataris rakyat Indonesia pada pilpres 2019 kemarin.

Lantas, apakah pengungkapan data "gunung es" COVID-19 itu dapat dibaca sebagai lontaran amunisi terbaru Anies pasca-serangan isu bansos yang dilancarkan trio menteri?

Bisa jadi ya, bukankah menyerang adalah pertahanan yang terbaik?

Sebagaimana sepak bola, politik pun mengadopsi prinsip klasik tersebut. Dan sebagai sebuah permainan taktik dan siasat, apa yang dilakukan Anies sebagai politisi tentu sah-sah saja.

Kendati, sebagai warga bangsa, kita tentu prihatin dengan kegaduhan politik seputar COVID-19 ini. Namun, sebagai pelanduk di antara para gajah yang bertarung, kita berharap seluruh pertarungan itu pada ujungnya akan melahirkan kondisi "New Normal" yang lebih baik, seperti kinerja penyaluran bansos yang lebih baik dan transparansi data seputar COVID-19.

Para pihak yang bertarung pada akhirnya masing-masing "dipaksa" dan "terpaksa" untuk bekerja lebih baik dalam penyaluran bansos bagi kalangan terdampak COVID-19 dan juga lebih transparan serta jujur merilis data kasus COVID-19 dan jumlah kematiannya.

Itu semata-mata demi kemaslahatan warga bangsa di tingkat daerah dan nasional. Karena untuk merekalah, para politisi itu ada dan bekerja. Semestinya.

Jakarta, 12 Mei 2020

Referensi: [1] [2] [3]

Baca Juga: Denny Siregar Merisak Cucu SBY, Taktik Mubazir atau Pengalihan Isu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun