Baca Juga: 5 Mitos Pembunuh Mimpi Penulis
Masalah lama, medan tempur baru
Sebetulnya, jika merunut langkah-langkah Anies Baswedan sejak awal pandemi COVID-19, apa yang disampaikan sang mantan ketua Dewan Mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) tersebut bukan hal baru.
Sedari awal pada awal Maret 2020, Anies sudah mensinyalir perbedaan data pemprov DKI dan pemerintah Pusat. Termasuk juga Anies mengklaim pihaknya telah jauh lebih dahulu bertindak semenjak virus COVID-19 masih belum diidentifikasi dan masih disebut "Sindrom Virus Wuhan" pada awal 2020.
Yang baru adalah "medan tempur" yang dipilih oleh Anies untuk memaparkan perihal persengketaan data tersebut. Kini Anies memilih lebih terbuka kepada pers asing.
Salahkah?
Di mata pemerintah Pusat yang merasa tertampar, tentu salah. Bahkan kalangan Istana dengan garda pendengung (buzzer) sigap mengait-kaitkannya dengan masalah nasionalisme seorang Anies Baswedan yang notabene cucu pahlawan nasional Abdurrahman Baswedan.
Sejatinya, itu tuduhan konyol, karena, di samping itu wewenang Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta, juga mengingat kondisi pandemi COVID-19 yang bersifat global, tentu tidak terelakkan adanya aliran informasi dari luar ke Indonesia, demikian juga sebaliknya.
Alhasil, kita juga dapat meluaskan wawasan internasional, melebihi batas kolam, bahwa kontroversi Anies Baswedan versus pemerintah Pusat ini lazim adanya, sebagaimana perseteruan Presiden Erdogan versus Wali Kota Ankara (ibu kota Turki) atau Presiden Donald Trump versus Wali Kota New York Cuomo, atau Presiden Brasil Bolsoinaro dengan para gubernurnya.
Semuanya berkutat dengan isu yang sama, tentang karantina wilayah (lockdown). Dan posisi pemerintah Pusat di negara-negara itu selalu sama, yakni sebagai pihak yang defensif, menolak pengetatan. Juga dengan alasan yang sama, ekonomi. Dan Presiden Jokowi pun tak pelak ada dalam spektrum kebijakan yang sama.
Tudingan "mempermalukan negara" kepada Anies karena berbicara kepada pers Asing tentang fenomena gunung es kasus COVID-19 di Indonesia juga menggelikan. Seperti kata pepatah, "jangan karena buruk muka, lantas cermin pun dipecahkan". Atau "jika tak pandai menari, jangan lantai berjungkit disalahkan".