Farid Gaban, seorang jurnalis dan penulis senior, menuliskan catatan ringannya setiap hari di harian Republika pada akhir 90-an. Nama rubriknya adalah Solilokui, artinya "perbincangan dengan diri sendiri", yang diserap dari bahasa Inggris "soliloquy". Sinonim lainnya adalah "senandika".
Isi rubrik itu cerita ringan yang kadang dikaitkan dengan kondisi sosial politik saat itu, yang di akhir era kekuasaan Orde Baru.
Gus Dur, seorang budayawan Indonesia yang kemudian menjadi presiden negara ini, di kolomnya pada majalah Tempo di era 80 sampai 90-an, juga sering menuliskan hal-hal receh yang dibungkusnya dengan humor dan kerap dikait-kaitkannya dengan kritik terhadap kekuasaan Orba.
Gus Dur yang penggemar sepak bola bisa dengan enteng menganalisis strategi catennacio-nya tim nasional Italia yang disangkutpautkan dengan cerita keseharian di rumahnya dan strategi budaya menghadapi represi Orba saat itu.
Sementara itu, cerita-cerita lucu yang diposting Raditya Dika di awal 2000-an di blog pribadinya pada akhirnya mengantarkannya menjadi seorang penulis dan komedian tunggal (stand-up comedian) terkemuka saat ini.
Menulis yang berbobot tidak selalu identik dengan menulis artikel politik atau hal-hal serius tentang filsafat atau keagamaan. Hal-hal receh pun, jika dikemas baik dan elok, akan dinilai berbobot juga nantinya.
Lantas, haruskah kita menulis yang berbobot?
Berbobot itu relatif, bermanfaat itu pasti. Itulah patokannya.
Mitos keempat: Menulis itu harus netral dan berimbang
Siapa bilang?
Yang berpendapat demikian tampaknya menganggap menulis itu hanya pekerjaan jurnalis atau wartawan yang memang terikat pada prinsip cover both sides, berimbang dalam menulis.