Lantas, haruskah hanya data primer yang diperbolehkan sebagai data tulisan?
Come on, Bro, penulis itu bukan jurnalis. Meskipun banyak penulis yang juga jurnalis, dan jurnalis yang merangkap sebagai penulis, namun tiada larangan untuk mempergunakan data sekunder bahkan tersier dalam menulis, sepanjang valid, dapat dipertanggungjawabkan, dan argumentasinya kokoh.
Apakah Anda hanya mau menggunakan data primer untuk validitas tulisan?
Itu tentu terserah preferensi Anda, dan tergantung pada jenis tulisan yang Anda garap, apakah karya ilmiah, opini, esai, sketsa, atau sekadar catatan harian.
Dalam hal ini, yuk banyak membaca, agar Anda bisa membedakan sejauh mana perlu dan pentingnya data primer untuk tulisan Anda.
Sebagai panduan, salah satu pujangga besar Indonesia, William Surobrordus Rendra, yang kemudian setelah mualaf menjadi Wahyu Sulaiman (WS) Rendra, dalam pidatonya saat penganugerahan Anugerah Sastra Akademi Jakarta di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada 1975, mengatakan, "Dalam ilmu silat, tidak ada nomor dua; dalam ilmu surat tidak ada nomor satu."
Itulah rujukan kita sebagai penulis.
Akhirul kalam, apa pun mitos yang ada seputar kepenulisan, buanglah segala mitos yang membelenggu, menulislah dengan bahagia, karena, sebagaimana kata Buya Hamka, bahagia itu dekat dengan kita; ada di dalam diri kita. Dan tulisan yang dibuat dengan hati yang bahagia, dengan segenap potensi terbaik dalam diri kita, niscaya akan menyentuh hati jua dan bermanfaat adanya.
Jakarta, 10 Mei 2020
Baca Juga: Takjil dan Kata-kata Salah Kaprah dalam KBBI dan "Ambyar", Warisan Didi Kempot untuk Bahasa Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H