Selama bulan Ramadhan, kata "takjil" lazim terdengar dan digunakan.
"Sudah beli takjil belum?
"Yuk, takjilan yuk!"
Dalam hal ini, "takjil" mengacu pada "makanan untuk berbuka puasa atau iftar" dan "takjilan" merujuk pada "kegiatan makan bersama saat berbuka puasa, biasanya dengan camilan atau makanan ringan selain nasi".
Padahal sejatinya, sesuai bahasa sumbernya yakni bahasa Arab, "takjil" yang berasal dari kata "ta'ajjala" berarti "mempercepat atau menyegerakan".
Ada hadis sahih dari Nabi Muhammad Shallahu 'Alaihi Wasallam (SAW) yang memerintahkan umat Islam untuk mempercepat atau menyegerakan ("ta'ajjala") berbuka puasa ketika tiba waktunya, yakni saat sudah tiba waktunya Maghrib atau ketika azan Maghrib dikumandangkan.
Dan untuk memenuhi amanat "mempercepat" atau "menyegerakan" tersebut, biasanya yang dikonsumsi terlebih dahulu untuk berbuka atau membatalkan puasa adalah makanan yang ringan, seperti kurma, seperti yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW. Di Indonesia, biasanya menu favoritnya goreng-gorengan, Â kolak, atau es sirup.
Gunanya adalah agar perut kita yang selama kurang lebih 12 jam berpuasa tidak "kaget" atau sakit. Berbeda halnya jika, pas azan Maghrib yang berkumandang, yang dikonsumsi adalah makanan berat, seperti Nasi Padang, misalnya, yang bisa menjadi memberatkan kerja usus dan organ pencernaan kita.
Lambat-laun, seiring waktu, terjadilah perubahan makna ketika kata "ta'ajjala" diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi "takjil". Dan itulah bahasa. Tentu tidak terelakkan adanya proses penyesuaian atau perubahan makna pada bahasa penerima.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun memasukkan "kesalahkaprahan" itu. Alih-alih menetapkan makna "mempercepat berbuka puasa" sebagai makna yang baku, KBBI bersikap ambigu dengan juga memasukkan makna "makanan untuk berbuka puasa" untuk lema "takjil".
Alhasil, resmi tercatatlah kedua pemaknaan tersebut dalam KBBI.
Baca Juga: "Ambyar", Warisan Didi Kempot untuk Bahasa Indonesia
KBBI, sebagaimana aturan bahasa Indonesia untuk penyerapan suatu kata asing berdasarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) atau yang dahulu dikenal sebagai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), cenderung menyerap berdasarkan pengertian konsep atau makna atas suatu kata.
Berbeda dengan Kamus Dewan (semacam KBBI versi Malaysia) menyerap suatu kata bahasa asing dengan mengacu pada bentuk pelafalan bunyi kata tersebut.
Contohnya, kata "type" dalam bahasa Inggris.
Jika bahasa Indonesia menerjemahkannya menjadi "(ke)tik" dan "pengetikan", bahasa Melayu Malaysia memilih menyerapnya menjadi "taip" dan "penaipan".
Namun, KBBI melanggar prinsipnya sendiri ketika turut memasukkan kata "haiking" sebagai padanan untuk kata "hiking" dalam bahasa Inggris yang didefinisikan sebagai "menjelajah; mendaki gunung". Padahal dalam KBBI sendiri sudah ada padanan yang cukup indah, yakni "kelana alam".
Demikian juga ketika KBBI memasukkan kata "twit" untuk padanan "tweet" yang biasa digunakan oleh para tweps (pengguna aplikasi medsos Twitter) untuk unggahan status atau komentar di aplikasi berlogo burung biru tersebut.
Padahal "cuitan" atau "kicauan" yang lebih mengindonesia sudah cukup lazim dan banyak digunakan serta populer di kalangan media dan jurnalis di Indonesia.
Ditambah lagi, masuknya kata "kover" bersamaan dengan "cover" untuk pengertian "sampul buku", yang merupakan padanan untuk "cover" dalam bahasa Inggris yang bermakna sama.
Entah kenapa jika sudah ada "kover", lantas "cover" dengan pelafalan dan penulisan yang persis sama dengan kata bahasa Inggrisnya tetap dimasukkan juga.
Ini juga yang menimbulkan pertanyaan tentang asas penyusunan KBBI: preskriptif atau deskriptif?
Asas preskriptif adalah asas penetapan tentang mana kata yang baku dan yang tidak baku. Dalam konteks ini, jika asas KBBI preskriptif, sudah tentu yang dipilih adalah kata "kover" sebagai kata baku, dan "cover" tidak turut dimasukkan.
Berbeda halnya jika asas yang dianut adalah deskriptif, di mana KBBI merangkum semua kata yang ada dan digunakan di tengah masyarakat. Dalam hal ini, pilihan memasukkan "kover" dan "cover" sudah tepat. Termasuk juga pilihan memasukkan "haiking" sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Namun, konsekuensinya, jika asas ini yang dianut, maka besok-besok juga memungkinkan dimasukkannya kata "onlen", "online", meskipun sudah ada "daring" untuk padanan "online" dalam bahasa Inggris.
Pada akhirnya, bahasa adalah suatu proses dan dinamika pergulatan ide, yang juga tercermin pada kamus rujukannya.
Jakarta, 8 Mei 2020
Baca Juga: Saat Politisi Membunuh KBBI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H