Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kriminalisasi Said Didu dan Ravio Patra, Sekuel Hikayat Orba?

3 Mei 2020   00:26 Diperbarui: 3 Mei 2020   01:15 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ravio Patra, sang peneliti muda yang dikriminalisasi/Sumber: Akun FB Ravio Patra

Di Change.org, juga beredar petisi tuntutan pembebasan ketiga aktivis tersebut yang dilancarkan oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Kota Malang.

"Ini teror negara terhadap suara kritis masyarakat," ujar Isnur dari YLBHI yang melakukan pendampingan hukum bagi ketiga aktivis Aksi Kamisan tersebut.

"Kritik terhadap peristiwa yang terjadi di negara ini disikapi secara represif dan dengan rekayasa kasus...Ini tidak mengancam orang per orang tapi demokrasi karena siapa pun bisa diperlakukan seperti itu oleh kepolisian...Kondisi ini sangat (ber)bahaya. Ini adalah contoh praktik buruk hukum untuk merepresi warga negara," lanjut Isnur.

Sementara, sebagaimana dilansir oleh BBC Indonesia, pihak pemerintah yang diwakili oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian, membantah seluruh penilaian YLBHI. Menurutnya, pemerintahan Jokowi tidak pernah berupaya memasung kebebasan berpendapat.

"Yang ditangani polisi adalah pendapat yang secara hukum bermasalah. Kalau kritik tidak masalah. Kalau mendorong orang melakukan kerusuhan itu melanggar hukum. Polisi bisa memilah mana yang pidana mana yang bukan," ujar Donny yang juga dosen Fakultas Filsafat Universitas Indonesia dan mantan suami politisi PDIP dan aktris Rieke Diah Pitaloka.

Apa pun dalih Donny, yang juga mantan anak didik Rocky Gerung (aktivis oposan rezim Jokowi) di FSUI, tampaknya dugaan kriminalisasi itu tidak terlepas dari surat telegram kepolisian bernomor  ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 yang diterbitkan oleh Kapolri Idham Aziz per 4 April 2020 yang menginstruksikan bawahannya untuk melakukan patrol siber guna mengawasi opini dan hoaks atau berita bohong terkait COVID-19 dan kebijakan pemerintah.

Sekuel Hikayat Orba

Ada adagium "kelaliman punya wajah yang sama", di mana pun dan di zaman apa pun.

Dan sebagai simbol kelaliman ikonik di negeri ini, rezim Orde Baru (Orba) punya banyak cerita tentang kriminalisasi.

Dalam catatan Eep Saefulloh Fatah, mantan aktivis mahasiswa UI dan CEO Pollmark Indonesia, dalam tulisannya di situs web Indonesia Corruption Watch, kasus kriminalisasi paling legendaris di era Orba adalah kasus Kedung Ombo pada 1985. Tentunya tanpa mengesampingkan kasus kriminalisasi Kelompok Petisi 50 (Abdul Haris Nasution, Ali Sadikin, AM Fatwa dll) dan teramat banyak kasus serupa lainnya.

Saat itu pemerintah Orba di bawah pimpinan Soeharto membangun waduk untuk menjadi pembangkit listrik 22,5 megawatt dengan biaya dari Bank Dunia (156 juta dollar AS), Bank Exim Jepang (25,2 juta dollar AS), dan APBN 1985-1989. Untuk itu, 5.268 keluarga di 37 desa, tujuh kecamatan di Kabupaten Sragen, Boyolali, dan Grobogan di Jawa Tengah harus kehilangan tanahnya untuk pembangunan waduk itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun