Sebagaimana dikutip dari Detik.com per 1 Mei 2020, Muhammad Said Didu (MSD), mantan staf khusus Menteri ESDM dan mantan sekretaris Kementerian BUMN yang juga pendukung Prabowo Soebianto pada pemilihan presiden (pilpres) 2019, resmi diperkarakan terkait kasus penyebaran berita bohong dan pencemaran nama baik Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (LBP).
Pelaporan itu sendiri berdasarkan unggahan video Said Didu di Youtube yang berjudul "MSD: LUHUT HANYA PIKIRKAN UANG, UANG, UANG" dengan durasi sekitar 23 menit yang menjadi viral di media sosial.
Dalam video tersebut, dan juga dalam banyak postingan di akun medsosnya, MSD gencar mengkritik peran dominan LBP dalam pemerintahan saat ini yang diduga berpotensi berkonflik kepentingan (conflict of interest) karena terkait dengan proyek-proyek bisnis pribadinya.
Berdasarkan laporan dari kuasa hukum LBP, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri) juga telah melakukan pemanggilan untuk pemeriksaan kepada Said Didu, mantan komisaris utama PT Merpati Nusantara dan mantan peneliti BPPT berusia 58 tahun tersebut.
Padahal sepekan sebelumnya, pada Jumat, 24 April 2020, pihak kepolisian telah melepaskan Ravio Patra, seorang aktivis penggiat demokrasi dan peneliti kebijakan publik, yang sebelumnya ditahan sejak 22 April 2020 dengan tuduhan ujaran kebencian (hate speech) melalui postingan via aplikasi Whatsapp (WA).
"Krisis sudah saatnya membakar! Ayo kumpul dan ramaikan 30 April aksi penjarahan nasional serentak, semua toko yang ada di dekat kita bebas dijarah," demikian isi broadcast postingan tersebut, yang dibantah oleh Ravio sendiri dan termasuk koalisi organisasi masyarakat sipil yang mengadvokasi kasusnya. Koalisi tersebut terdiri dari para aktivis SAFEnet, YLBHI, LBH Jakarta, LBH Pers, KontraS, AMAR, ICW, Lokataru, AJAR, Amnesty International Indonesia, dan ICJR.
Menurut Koalisi, ponsel Ravio telah diretas (hacking) dan menyebarkan pesan agitatif tersebut via berbagai platform media sosial. Dan Koalisi sendiri meyakini kriminalisasi Ravio dikarenakan Ravio Patra sangat kritis mengkritik pemerintahan Jokowi, termasuk konflik kepentingan para staf khusus (stafsus) milenial dan perihal transparansi data korban COVID-19 yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Untuk yang terakhir itu, ada satu artikel alumnus Hubungan Internasional Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung itu yang cukup viral berjudul "Kenapa Penyajian Data Rasio Kematian COVID-19 dari BNPB Menyesatkan" yang dimuat di Tirto.id. Dalam artikel tersebut, pria berusia 30-an tahun itu menyoal sikap LBP yang dianggapnya meremehkan jumlah kematian korban COVID-19 di Indonesia.
Terkait peretasan tersebut, Koalisi berpendapat, "Polri seharusnya menangkap pihak-pihak yang telah meretas handphone Ravio dan menyebarkan hoaks kerusuhan dengan menggunakan WA Ravio, bukan menangkap Ravio."
"Presiden dan Kapolri harus segera menghentikan upaya-upaya dari pihak tertentu untuk meretas gawai ataupun akun media sosial masyarakat yang kritis mendorong pemerintah untuk transparan dan bekerja dengan benar," demikian menurut keterangan Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil.
Entah kebetulan atau tidak, persis setahun sebelumnya, pada 14 April 2019, jelang pilpres 2019, ponsel MSD, saat itu menjabat juru kampanye Prabowo Soebianto, juga diretas orang tidak dikenal.
Lebih ke belakang lagi, pola peretasan ponsel yang berbuntut pada kriminalisasi juga terjadi pada Habib Rizieq Shihab (HRS), pendiri dan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), yang diperkarakan atas kasus "chat mesum dan pornografi", yang dibantah oleh HRS dan FPI berdasarkan analisis dari para pakar Teknologi Informasi (TI) yang membuktikan bantahan tersebut.
Namun, sampai sekarang pelakunya tidak terungkap apalagi sampai masuk terungku atau penjara. Kendati pakar TI Hermansyah sampai dianiaya hingga terluka parah oleh sekelompok orang tidak dikenal selepas kesaksiannya tentang rekayasa chat atau obrolan mesum tersebut. Dan kasus itu pun terkatung-katung hingga HRS memilih menetap sementara di Arab Saudi demi keselamatan jiwa dan keluarganya di tengah tudingan miring para pejabat pemerintah dan barisan pendengung (buzzer) rezim tentang langkahnya tersebut.
Teror terhadap suara kritis masyarakat
Sebagaimana lagu "kebangsaan" para penggemar klub sepak bola Liverpool yang berjudul You Never Walk Alone, Said Didu dan Ravio Patra tidak melangkah sendiri dalam jalan penderitaan akibat kriminalisasi kebebasan bersuara tersebut.
Dalam pekan yang sama dengan penahanan Ravio Patra, namun gaung beritanya kurang santer terdengar, tiga orang aktivis Aksi Kamisan, suatu aksi pekanan menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia (kasus Trisakti, Munir, Widji Thukul dll), yakni Ahmad Fitron Fernanda, Muhammad Alfian Aris Subakti, dan Saka Ridho ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Kota Malang atas kasus penghasutan dan vandalisme dengan tuduhan "provokasi agar publik melawan kapitalisme".
Ketiganya juga dituding terlibat kelompok Anarko Sindikalis yang tempo hari melakukan aksi vandalisme dan agitasi kerusuhan di Tangerang dan Jawa Barat dengan barang bukti foto coretan "Tegalrejo Melawan", yang dibantah oleh para aktivis tersebut.
Baca Juga:Â Anarko Sindikalis, Vandal atau Tumbal Darurat Sipil?
Di Change.org, juga beredar petisi tuntutan pembebasan ketiga aktivis tersebut yang dilancarkan oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Kota Malang.
"Ini teror negara terhadap suara kritis masyarakat," ujar Isnur dari YLBHI yang melakukan pendampingan hukum bagi ketiga aktivis Aksi Kamisan tersebut.
"Kritik terhadap peristiwa yang terjadi di negara ini disikapi secara represif dan dengan rekayasa kasus...Ini tidak mengancam orang per orang tapi demokrasi karena siapa pun bisa diperlakukan seperti itu oleh kepolisian...Kondisi ini sangat (ber)bahaya. Ini adalah contoh praktik buruk hukum untuk merepresi warga negara," lanjut Isnur.
Sementara, sebagaimana dilansir oleh BBC Indonesia, pihak pemerintah yang diwakili oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian, membantah seluruh penilaian YLBHI. Menurutnya, pemerintahan Jokowi tidak pernah berupaya memasung kebebasan berpendapat.
"Yang ditangani polisi adalah pendapat yang secara hukum bermasalah. Kalau kritik tidak masalah. Kalau mendorong orang melakukan kerusuhan itu melanggar hukum. Polisi bisa memilah mana yang pidana mana yang bukan," ujar Donny yang juga dosen Fakultas Filsafat Universitas Indonesia dan mantan suami politisi PDIP dan aktris Rieke Diah Pitaloka.
Apa pun dalih Donny, yang juga mantan anak didik Rocky Gerung (aktivis oposan rezim Jokowi) di FSUI, tampaknya dugaan kriminalisasi itu tidak terlepas dari surat telegram kepolisian bernomor  ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 yang diterbitkan oleh Kapolri Idham Aziz per 4 April 2020 yang menginstruksikan bawahannya untuk melakukan patrol siber guna mengawasi opini dan hoaks atau berita bohong terkait COVID-19 dan kebijakan pemerintah.
Sekuel Hikayat Orba
Ada adagium "kelaliman punya wajah yang sama", di mana pun dan di zaman apa pun.
Dan sebagai simbol kelaliman ikonik di negeri ini, rezim Orde Baru (Orba) punya banyak cerita tentang kriminalisasi.
Dalam catatan Eep Saefulloh Fatah, mantan aktivis mahasiswa UI dan CEO Pollmark Indonesia, dalam tulisannya di situs web Indonesia Corruption Watch, kasus kriminalisasi paling legendaris di era Orba adalah kasus Kedung Ombo pada 1985. Tentunya tanpa mengesampingkan kasus kriminalisasi Kelompok Petisi 50 (Abdul Haris Nasution, Ali Sadikin, AM Fatwa dll) dan teramat banyak kasus serupa lainnya.
Saat itu pemerintah Orba di bawah pimpinan Soeharto membangun waduk untuk menjadi pembangkit listrik 22,5 megawatt dengan biaya dari Bank Dunia (156 juta dollar AS), Bank Exim Jepang (25,2 juta dollar AS), dan APBN 1985-1989. Untuk itu, 5.268 keluarga di 37 desa, tujuh kecamatan di Kabupaten Sragen, Boyolali, dan Grobogan di Jawa Tengah harus kehilangan tanahnya untuk pembangunan waduk itu.
Namun, karena tiap meter persegi tanah penduduk hanya dihargai pemerintah setara dengan satu batang rokok, penduduk menolak pembebasan tanahnya. Perlawanan ini berkembang menjadi gerakan sosial melibatkan aktivis prodemokrasi dan mahasiswa dari spektrum sosial, politik, dan ideologi beragam.
Lalu terjadilah "kriminalisasi" penduduk Kedung Ombo. Puncaknya, Presiden Soeharto menyebut mereka sebagai pembangkang (mbalelo), mengganggu pembangunan dan stabilitas nasional. Kata kriminalisasi digunakan guna menggambarkan pelekatan identitas kriminal secara keliru kepada mereka yang memperjuangkan hak-haknya.
Demikianlah hikayat kriminalisasi Orba. Dan tampaknya sekuel hikayat tersebut, meskipun bukan oleh pelakon yang sama dan di zaman yang berbeda, berlanjut saat ini.
Â
Jakarta, 3 Mei 2020
Baca Juga:Â Anarko Sindikalis Dibekuk, Kenapa Novel Tere Liye Jadi Barbuk?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H