Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

AHY Gaet Putri Ma'ruf Amin, Strategi atau Terkooptasi?

30 April 2020   23:48 Diperbarui: 1 Mei 2020   01:21 1336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siti Nur Azizah, puteri keempat KH. Ma'ruf Amin, yang menjabat Wasekjen Partai Demokrat/Sumber: kumparan.com

Soeharto sebagai presiden kedua RI, yang juga menempatkan diri sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, terkesan lebih lihai menjaga jarak antara posisi kepresidenannya dengan (Sekber) Golkar sebagai kekuatan politik yang menggabungkan unsur birokrat, militer (ABRI saat itu) dan kalangan profesional.

Ideologi yang diusung entitas politik yang dulu emoh disebut 'parpol' adalah pembangunan dan kekaryaan. Dengan demikian basis sosial Golkar (yang kemudian bersalin rupa sebagai Partai Golkar) yang dibangun trah Cendana juga lebih jelas dan berakar.

Presiden-presiden selanjutnya pun serupa, memiliki basis sosial dan ideologi yang jelas. Habibie (Golkar), Megawati (PDI-P yang merupakan partai nasionalis sebagai reinkarnasi PNI), Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (kalangan Islam NU).

Tak heran, meskipun Soekarno atau Soeharto jatuh karena pergolakan sosial, nasib mereka tak senista rezim Tsar Rusia yang dibantai habis dan segala hal yang berhubungan dengan mereka dibabat habis.

Demikian juga saat Megawati atau Gus Dur didemo, ada saja kalangan nasionalis atau Nahdliyyin yang berani pasang badan bahkan berani mati demi membela mereka.

Di satu sisi, dengan uraian di atas, layak diacungkan jempol kepada SBY dan Partai Demokrat atas terobosan bersejarah mereka dalam kancah perpolitikan nasional (lewat kampanye pencitraan yang hebat dan 'operasi senyap' yang gemilang) yang membuktikan bahwa seseorang tanpa basis sosial atau basis ideologi yang kuat pun bisa jadi presiden. Suatu pola yang harus diakui ditiru Jokowi dalam perjalanannya menuju takhta RI-1.

Dan memang Partai Demokrat -- menurut keterangan di situs resmi partainya -- dibangun oleh para fans SBY (Vence Rumangkang, Sys Ns, Irzan Tanjung, dll) sebagai "tombo ati" atau obat hati bagi SBY yang saat itu dikalahkan Hamzah Haz dalam pemilihan wakil presiden di MPR pada Juli 2001, sehingga ketua umum PPP itulah yang kemudian mendampingi Presiden Megawati Soekarnoputri selepas mundurnya Presiden Abdurrahman Wahid.

Alhasil, disiapkanlah pelipur lara bagi sang jenderal yakni kendaraan politik istimewa bernama Partai Demokrat yang mengusung SBY sebagai calon presiden pada pemilu 2004. Dengan demikian, tak lain tak bukan Partai Demokrat sejatinya pada awalnya adalah kumpulan para fans SBY. Dan ini pun ditiru oleh rival Jokowi yakni Prabowo Soebianto, yang juga rekan seangkatan SBY di Akmil TNI, dengan mendirikan Partai Gerindra selepas kekalahannya di konvensi Partai Golkar jelang pilpres 2004.

Di sisi lain, andaikan selama era kepresidenan SBY yang terjadi adalah skenario terburuk yakni revolusi sosial, apakah saat itu bisa dijamin kekuatan politik dan sosial yang ada dapat menjadi bantalan yang aman dan nyaman bagi SBY, Partai Demokrat dan keluarga Cikeas?

Nasionalis tak jelas, Muhammadiyah bukan, apalagi NU. Militer? Kalangan militer pun tak satu padu menyikapi kebijakan-kebijakan SBY. Terbukti dengan pernyataan-pernyataan kalangan purnawirawan yang kerap berseberangan dengan SBY pada saat itu.

Alhasil, dengan meneropong basis sosial dan ideologi SBY, terang benderanglah seperti apa anatomi Partai Demokrat. Yakni figur partai yang tak berakar (tanpa basis sosial kultural) dan berideologi pragmatis, yakni popularitas SBY.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun