Selama masa Work From Home (WFH) atau Bekerja Dari Rumah (BDR) sebulan terakhir ini, saya berkesempatan menamatkan membaca beberapa buku yang sebelumnya terlantar di rak buku saya. Salah satunya adalah memoar raja cerita horor dunia Stephen King yang terkenal dengan berbagai novel misteri dan horornya yang banyak dilayar lebarkan, antara lain It, Doctor Sleep, dan The Shining.
Buku setebal 416 halaman berjudul Stephen King On Writing (SKOW) yang diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dan disunting oleh Esti A. Budihabsari dari versi bahasa Inggris dengan judul On Writing: A Memoir of the Craft (Simon & Schuster, 2000) itu diterbitkan oleh Penerbit Qanita (anak perusahaan dari Mizan Pustaka Bandung) pada 2005.
Sebagai sebuah memoar, SKOW bukan sekadar memoar biasa yang bercerita perjalanan hidup seorang Stephen King dengan sederet karyanya, tetapi juga merupakan panduan dalam dunia kepenulisan.
Tetapi sebagai sebuah buku panduan kepenulisan, SKOW berbeda dengan pelbagai buku panduan lainnya yang menjelaskan berbagai kiat menulis secara terstruktur dan sistematis, yang dapat dibaca secara acak berdasarkan urutan di daftar isi.Â
Untuk menimba ilmu jurus menulis dari sang raja horor ini, kita harus membacanya berurutan dan telaten. Sungguh pengorbanan besar bagi para calon penulis yang malas membaca, suatu kebiasaan yang sangat dikecam Stephen King.
Ada banyak jurus menulis yang dengan murah hati dibagikan Stephen King dalam SKOW, namun ada 5 jurus penting, bahkan terpenting, sekaligus fundamental bagi para calon penulis maupun para penulis pemula.
Jurus pertama: Rajin membaca
Dalam kata pengantarnya untuk SKOW, Remy Sylado, novelis dan budayawan multi-talenta, mengatakan bahwa "...siapa pun yang membaca memoar Stephen King ini bakal mafhum dan paham, bahwa untuk menjadi seorang penulis yang cendekia dan dipedulikan oleh pembacanya, seseorang harus memiliki disiplin-disiplin yang terjaga soal kemauan baca-membacanya. Kiranya dari latar belakang itu pula ia membangun kekayaan-kekayaan kecendekiaan dan kealiman tadi dalam karyanya."
Menurut Remy Sylado, Stephen King sangat tertib berdisiplin dalam membaca dan menulis (4-6 jam sehari). Ia membaca sejak kanak-kanak dan sudah menulis juga sejak kanak-kanak.Â
Tertib berlatih keras membaca dan menulis -- empat minggu, enam jam sehari, setiap hari, yang baginya tidak terasa berat karena begitu dinikmatinya.
Stephen King sendiri mengaku membaca 70-80 buku per tahun, atau 6-7 buku sebulan, atau 2 buku sepekan. Karena, menurutnya, membaca adalah pusat kreatif kehidupan seorang penulis. Ia membawa buku kemana pun ia pergi, dan selalu membaca di setiap kesempatan yang memungkinkan.
"Kiatnya adalah mengajari dirimu sendiri untuk membaca sedikit demi sedikit serta membaca langsung dalam waktu lama," demikian petuah dari penulis legendaris kelahiran Portland, Maine, Amerika Serikat, pada 1947 ini.
"Kalau engkau ingin menjadi penulis, ada dua hal yang harus kau lakukan: banyak membaca dan banyak menulis...Tiap buku yang kau baca mengandung pelajaran, dan sering buku yang jelek jauh lebih banyak memberikan pelajaran daripada buku yang bagus. Dan tulisan yang bagus mengajarkan kepada calon penulis tentang gaya tulisan, narasi yang indah, pengembangan alur cerita, penciptaan tokoh-tokoh yang meyakinkan, dan penuturan yang benar," lanjut Stephen King.
Stephen King yang pernah menjadi buruh pabrik dan guru bahasa Inggris itu sangat menekankan pentingnya membaca sebagai dasar kekuatan bagi para penulis. Sebab, "Kau tidak dapat mempesona orang lain dengan kekuatan tulisanmu sebelum ada orang lain yang melakukan hal serupa itu kepadamu."
Menurut King, banyak membaca dapat membuat kita mengenali pelbagai tulisan, terutama yang agak buruk dan sangat buruk.Â
Dan pengalaman seperti itu membantu kita mengenali hal-hal buruk tersebut saat mereka pelan-pelan masuk ke dalam karya kita sendiri. Dan dengan mengenali, kita dapat menghalaunya sampai bersih.
Kita juga membaca untuk mengukur kemampuan kita sendiri dalam menghadapi hal-hal yang bagus dan hebat, dan untuk mendapatkan pengetahuan tentang segala sesuatu yang dapat dilakukan. Dan kita membaca untuk mengenali gaya-gaya tulisan yang berbeda-beda.
"Kalau kau tidak punya waktu untuk membaca, kau tidak punya waktu (atau peralatan) untuk menulis," tegas penulis novel Bag of Bones tersebut.
Secara khusus, bagi para calon penulis, Stephen King sangat menganjurkan untuk mengurangi waktu menonton televisi. Menurutnya, "Jika kita sudah berhenti dari kebutuhan sesaat akan televisi, banyak orang akan memperoleh kesenangan dengan menghabiskan waktunya untuk membaca."
Andai SKOW ditulis di era media sosial, barangkali King juga akan menyarankan mengurangi waktu bermedsos ria, yang dapat dialihkan untuk lebih banyak membaca dan berlatih menulis.
Jurus kedua: Terus gigih menulis
Stephen King punya kebiasaan sejak remaja, sewaktu masih berusia di bawah 14 tahun, untuk memakukan slip penolakan karyanya dari penerbit atau majalah pada dinding kamarnya.Â
Demikian terus hingga dinding itu penuh dengan slip penolakan, sampai usianya 16 tahun saat karya pertamanya berhasil dimuat. Ia terus konsisten dan gigih menulis kendati ditolak terus selama tiga tahun lebih!
"Menulis itu pekerjaan orang yang kesepian. Punya orang yang mempercayaimu dapat membuat perbedaan besar. Mereka tidak harus menyusun pidato. Hanya percaya saja biasanya sudah cukup," tulis Stephen King.Â
Beruntunglah King didampingi sang istri, Tabitha, yang memahami dunianya serta mendampinginya sejak masih seorang dosen bergaji pas-pasan. Di samping itu, Tabitha juga seorang novelis.
Dalam konteks blogging, para narablog yang menjadi pembaca rutin atau komentator aktif tulisan kita juga dapat dianggap sebagai orang-orang yang mempercayai kita. Inilah bahan bakar untuk semangat kegigihan menulis yang tak kunjung padam.
"Aku ingin menyarankan bahwa untuk menghasilkan tulisan terbaik sesuai dengan kemampuanmu, kau harus menyediakan kotak perkakasmu sendiri dan kemudian mengerahkan seluruh tenagamu agar kau bisa mengangkat kotak perkakas itu. Selanjutnya, bukannya melihat betapa sulitnya pekerjaan yang harus kau lakukan dan menjadi tidak bersemangat, sebaiknya kau segera mengambil peralatan yang tepat dan langsung mulai bekerja," demikian advis King pada bagian lain dari SKOW.
"Kotak perkakas" yang dimaksud oleh Stephen King antara lain kosakata dan tata bahasa.
Terkait kosakata, menurut King, bukan soal berapa banyak yang kau punya, tetapi bagaimana kau menggunakannya.
Terkait tata bahasa, mari dengarkan petuah King, "Kecuali jika penulis yakin akan bisa menunjukkan hasil yang baik, penulis sebaiknya mengikuti aturan tata bahasa."
Artinya, kecuali Anda sekaliber penyair Soetardji Calzoem Bachri atau Joko Pinurbo (Jokpin) yang dapat menulis secara indah dan bermakna kendati mengabaikan aturan tata bahasa, sebaiknya tetaplah berpegang pada aturan tata bahasa.
Dalam konteks bahasa Indonesia, itu artinya mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), dahulu disebut Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Jurus ketiga: Tetapkan target menulis harian
Stephen King menekankan produktivitas menulis dengan jadwal teratur. Ia terbiasa menulis empat sampai enam jam sehari dengan target ribuan kata sehari.
Hal ini dimungkinkan karena King fokus pada pekerjaan yang akan dikerjakan dan berprinsip untuk tidak menunggu ide, ilham atau inspirasi datang sendiri.
Menurutnya, inspirasi akan datang sendiri jika kita telah menetapkan jadwal dan target menulis setiap hari secara rutin. Inspirasi itu dijemput, bukan ditunggu, menurut King.
Seperti pada kegiatan olahraga, masih menurut King, hal terbaik adalah menetapkan target yang rendah terlebih dahulu agar tidak dihinggapi kekecewaan.Â
Dengan tujuan yang telah ditetapkan, kita dapat terus bekerja hingga target menulis tercapai. Dan akan sangat bijaksana untuk mengurangi hal yang dapat mengalihkan perhatian seperti TV, radio, ponsel atau videogame, jika memungkinkan.
"Ketika menulis, engkau ingin menjauh dari situasi dunia, bukan? Ya, tentu saja. Ketika menulis, engkau sedang menciptakan duniamu sendiri," ujar King.
Jurus keempat: Riset
"Kalau kau tidak mematuhi aturan untuk menulis apa yang kau ketahui, maka riset menjadi suatu keharusan dan riset dapat memperkaya tulisanmu. Jangan sampai hal-hal tidak penting mendominasi tulisanmu", begitulah advis Stephen King kepada kita.
Petuah King ini layak disimak, "Tulislah apa yang kau sukai, lalu tambahkan aspek kehidupan dan buatlah menjadi karya unik dengan cara mencampurnya dengan pengetahuan pribadimu sendiri tentang kehidupan, persahabatan, hubungan antar manusia dan pekerjaan. Terutama masalah pekerjaan. Orang suka membaca tentang pekerjaan..apa yang kau ketahui membuatmu menjadi unik dalam beberapa hal."
Dan aspek pengetahuan dan keunikan itu salah satunya dapat dicapai melalui riset yang gigih dan tekun. Dan di era 4.0 seperti saat ini, para calon penulis dan penulis pemula dipermudah dengan keberadaan Google dan Internet yang bahkan ada di genggaman tangan.
Berbeda dengan para penulis angkatan sebelumnya yang harus rajin mengunjungi banyak perpustakaan umum atau keluar masuk toko buku atau lapak penjual buku bekas guna mendapatkan data atau dokumen yang diperlukan untuk memperkaya tulisan mereka.
Alhasil, jika di zaman sekarang masih ada penulis yang malas riset data untuk melengkapi tulisannya, itu, meminjam istilah populer dari sang raja dangdut Rhoma Irama, "sungguh terlalu".
Jurus kelima: Menulis dengan lepas, tanpa bebanÂ
Ya, menulislah dengan lepas, tanpa beban. Saya pribadi mengibaratkan seikhlas orang buang hajat. Tiada beban, ikhlas, lepas. Tanpa rasa bersalah atau penyesalan.
Karena menurut Stephen King, rasa khawatir adalah akar dari hampir seluruh tulisan yang buruk. Jika orang menulis hanya demi kesenangannya sendiri, kekhawatiran itu mungkin hanya kecil.
Menulis dengan bagus, menurut King, berarti menyingkirkan kekhawatiran dan kepura-puraan. Tak perlulah kita repot-repot mencari tahu atau mendefinisikan tulisan kita sendiri sebagai "baik" atau buruk", karena itu merupakan perilaku yang sarat kekhawatiran.
Ada pesan pamungkas yang sangat bernas dari Stephen King, sang maestro pencerita horor, tentang hasil akhir suatu karya tulisan, "...hasil karyamu memang mulanya hanya untukmu, tetapi kemudian keluar. Begitu kau tahu apa cerita itu dan memahaminya dengan benar, sebenar yang kau bisa, ia menjadi milik siapa saja yang ingin membaca atau mengkritiknya. Jika kau sangat beruntung, akan lebih banyak yang ingin membacanya daripada yang mengkritiknya."
Jagakarsa, 17-18 April 2020
Baca Juga: Patahnya Teori Orang Baik dan Tumbal Darurat Sipil?
Baca Juga:Â Fatwa Kremasi Jenazah COVID-19?
Baca Juga:Â Catatan Blogshop Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H