"Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely." (Sir John Dalberg-Acton)
Kekuasaan itu cenderung untuk korup, dan kekuasaan yang mutlak atau absolut korup semutlak-mutlaknya, demikian petuah Lord Acton, salah seorang politisi dan bangsawan Inggris pada periode 1800-an.
Dan kasus "mala-administrasi" Andi Taufan Garuda Putra, salah satu staf khusus (stafsus) milenial Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menjabat CEO Amartha Mikro Fintek, dengan katebelecenya kepada para camat se-Indonesia untuk membantu aktivitas perusahaan teknologi finansial (tekfin) miliknya dalam program Relawan Lawan COVID-19 adalah bukti dari kebenaran ucapan sang politisi sekaligus bangsawan Inggris tersebut.
Kasus Taufan itu konon juga hanya salah satu dari sederet kasus "mala-administrasi", "konflik kepentingan" atau "berpotensi terindikasi korupsi" di lingkar dalam Istana.
Setelah "Mas Menteri" Nadiem Makarim, yang mantan bos Gojek sebelum menjabat Mendikbud, disoal publik perihal dugaan "pemanfaatan kekuasaan" dengan dipilihnya aplikasi Go-Pay untuk pembayaran SPP sekolah negeri, salah satu stafsus milenial, Adamas Belva Delvara yang juga CEO Ruang Guru, tak luput dari sorotan publik atas kasus serupa.
Perusahaan rintisan (start-up) Ruang Guru yang didirikan Belva yang merupakan penyedia jasa layanan pendidikan daring (online) termasuk salah satu perusahaan yang dipilih pemerintah sebagai Mitra Kartu Prakerja, sebuah program pemerintah untuk kelompok tunakarya dan korban PHK, yang merupakan salah satu janji kampanye Jokowi pada pemilihan presiden (pilpres) 2019.
Kendati Nadiem dan Belva membantah dengan alasan bahwa hal itu "sudah sesuai aturan" dan "hasil kompetisi pasar", tetap saja dugaan conflict of interest (konflik kepentingan) dan trading in influence (perdagangan pengaruh) tidak bisa dikesampingkan begitu saja.
Terlebih lagi, Taufan, Belva dan stafsus milenial lainnya hanya bekerja paruh waktu (part-time) bergaji 50-an juta Rupiah sebulan dengan tetap aktif memegang posisi dalam bidang usaha mereka masing-masing.
Baca Juga:Â Katebelece Topan
Patahnya Teori "Orang Baik"
Kalangan Istana, terutama Presiden Jokowi, tampaknya memilih para stafsus milenial tersebut berdasarkan landasan teori "Orang Baik".
Sebagaimana premis yang dipegang kuat bahwa "orang baik pilih orang baik", Jokowi pun memilih anak-anak muda generasi milenial dengan rekam jejak lurus dan berprestasi di bidangnya masing-masing dalam kategori usia rata-rata di bawah atau awal 30-an tahun.
Kalangan Istana sepertinya lupa kelanjutan kalimat dari pernyataan Lord Acton, yang teramat populer dikutip orang, dalam surat panjangnya kepada Uskup Creighton pada 1887 tersebut.
Kekuasaan itu cenderung untuk korup, dan kekuasaan yang mutlak atau absolut korup semutlak-mutlaknya. Orang baik juga hampir seluruhnya merupakan orang jahat, meskipun ketika mereka menggunakan pengaruh mereka dan bukan kewenangan mereka.
Dan, sesuai implikasi dari pernyataan Lord Acton, kekuasaan itu perlu dibatasi.
Jika semangat trias politica ala Montesquieu tidak bisa diadopsi sepenuhnya, setidaknya mereka perlu merenungkan perkataan populer sang adiwira Spiderman, "Great power comes with great responsibility." Kekuasaan atau kekuatan yang besar datang disertai tanggung jawab yang juga besar.
Alhasil, sekadar baik saja tidak cukup. Seseorang bisa saja merupakan orang baik bagi keluarganya, akan tetapi belum tentu ia orang yang baik bagi jenjang lingkungan yang lebih besar atau bagi negara dan bangsanya.
Bisa jadi ia berubah menjadi orang paling jahat jika tidak diawasi dengan baik, terlebih lagi jika tidak memiliki kesadaran akan besarnya beban tanggung jawab yang dipikulnya. Atau, jika ia dikelilingi orang-orang yang tidak baik atau terkungkung dalam lingkungan yang tidak baik.
Dengan sendirinya teori "orang baik" terpatahkan sudah.
Dalam hal ini, teori "kereta perubahan" dari mendiang Cak Nur atau Nurcholish Madjid bahwa kurang lebih "yang penting adalah jalur rel dan sistem yang benar; jadi, siapa pun masinisnya, kereta akan tetap berjalan lurus sesuai tujuan akhir" justru lebih tepat dan lebih komprehensif dalam konteks kepemimpinan dan pergerakan perubahan.
Cak Nur, sang intelektual dan pemikir bangsa yang juga tokoh penggerak Reformasi 1998, sendiri telah membuktikan kebenaran teorinya tersebut ketika beliau, yang notabene masuk kategori "orang baik", harus tersingkir secara tragis dalam konvensi capres dan cawapres yang diselenggarakan oleh Partai Golkar pada 2003 jelang Pilpres 2004 karena "sistem yang tidak mendukung".
Salah satunya, menurut testimoni Cak Nur sendiri selepas pengunduran dirinya dari arena konvensi, karena beliau "kurang gizi" dalam artian tidak punya sokongan modal finansial yang memadai.
Dalam konteks kekinian, kita menyaksikan bahwa Jokowi sebagai kepala keluarga yang baik (terlihat dari anak-anaknya yang berpendidikan baik dan juga sebagai pebisnis berkecukupan) dan juga anak yang baik (lihatlah baktinya kepada sang mendiang ibunda saat pemakaman!) belum bisa menunjukkan kinerja penuh yang cukup baik dalam enam tahun masa kepemimpinannya sebagai presiden Republik Indonesia.
Terlihat juga betapa Jokowi selama dua periode kepresidenan ini kepayahan dijepit berbagai tekanan kepentingan dan dominasi bayang-bayang "orang kuat" dalam kabinetnya. Belum lagi silang sengketa serta karut-marut keadaan yang harus dihadapinya dalam enam bulan terakhir dalam upaya menghadapi wabah COVID-19.
Jika Jokowi saja yang juga "petugas partai", yang berarti didukung kekuatan politik mapan serta para penasihat kawakan, terengah-engah dalam tugas kenegaraannya, apatah lagi Andi Taufan dan para stafsus milenial lainnya yang masih hijau, miskin pengalaman dan minim dukungan sosial politik serta notabene lebih labil ketahanan emosi dan mentalnya dalam kategori rentang usia belia mereka.
Alhasil, mereka jelas lebih rentan terhadap godaan harta, takhta serta kenikmatan duniawi yang siap menjerat mereka dalam lingkup politik dan birokrasi pemerintahan.
Akhirul kalam, jangan percaya begitu saja bahwa orang baik akan mampu mengubah keadaan. Namun, janganlah kehilangan kepercayaan bahwa sistem yang baik yang akan lebih mampu menghadirkan perubahan harus terus dibangun dan diperjuangkan.
Jagakarsa, 15 April 2020Â
Â
Referensi:
https://oll.libertyfund.org/quotes/214
Baca Juga: Status Bencana Nasional Itu Legitimasi Darurat Sipil? dan Catatan Blogshop Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H