Dalam beleid tersebut diatur bahwa status darurat sipil, darurat militer, atau perang hanya diumumkan oleh presiden atau panglima tertinggi angkatan perang, baik untuk seluruh atau sebagian wilayah Republik Indonesia.
Ada tiga syarat pemberlakuan status Darurat Sipil, yakni:
(1) Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan atau akibat bencana alam, yang dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
(2) Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apa pun juga;
(3) Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Dan dalam beleid itu juga ditegaskan pada Pasal 3 bahwa penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat.
Alhasil, dengan mempertimbangkan semua hal tersebut di atas, apakah diterbitkannya status Bencana Nasional sekarang ini merupakan legitimasi atau justifikasi atau prakondisi atau apa pun istilahnya untuk status Darurat Sipil? Tentu hanya Istana dan Tuhan yang tahu kebenaran sejatinya.
Sejatinya, jika Istana melakukan blunder atau salah langkah dalam menimbang sikon dan suara rakyat dalam segala hal, tidak mustahil akan kian terjepit yang berujung pada posisi skakmat.
Semoga saja adagium demokrasi, vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), masih berlaku atau setidaknya masih diingat dan masih mendapat tempat di hati dan pikiran penguasa negeri ini.
Jakarta, 15 April 2020
Referensi:
kompas.com
detik.com
tirto.id
detik.com