Seperti dalam permainan catur, langkah Presiden Jokowi dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 yang menetapkan status Bencana Nasional atas wabah COVID-19 di Indonesia per 13 April 2020 dapat dianggap sebagai upaya melangkahkan bidak penyelamat saat kondisi terjepit.
Desakan WHO untuk menetapkan kondisi darurat nasional COVID-19, kondisi perekonomian negara yang memburuk, dan keterbatasan kemampuan dan Sumber Daya Manusia (SDM) domestik untuk mengatasi serangan COVID-19 ditambah lagi ketidaksinkronan data COVID-19 antara pusat dan daerah serta ketidakdisiplinan masyarakat menaati aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) (yang merupakan alternatif lockdown atau karantina wilayah) adalah jepitan situasi kondisi (sikon) yang memang membuat pening penguasa mana pun, siapa pun ia.
Di sisi lain, kendati dianggap terlambat oleh banyak kalangan, terutama para pakar hukum perundang-undangan, keputusan penetapan status Bencana Nasional tersebut termasuk keputusan bersejarah karena merupakan penetapan ketiga sepanjang sejarah Republik Indonesia. Yang dua sebelumnya adalah saat bencana gempa bumi di Flores, NTT, pada 1992, dan saat bencana tsunami Aceh pada 2004.
Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, wabah COVID-19 dikategorikan sebagai "bencana non-alam" yakni "bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit".
Dalam Pasal 7 dari beleid tersebut disebutkan bahwa indikator bencana nasional adalah jumlah korban, kerugian, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan wilayah, dan dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan.
Berdasarkan tinjauan hukum, penetapan status Bencana Nasional tentu tidak main-main. Hal ini berarti pemerintahan Jokowi mulai memandang wabah COVID-19 sebagai ancaman teramat serius dan mulai harus mempertimbangkan berbagai cara atau langkah di luar langkah penanggulangan yang biasa sesuai Standard Operating Procedure (SOP) dalam kondisi normal.
Alhasil, seiring penetapan status Bencana Nasional, pemerintah RI mulai membuka diri terhadap bantuan asing atau bantuan dari negara lain untuk mengatasi bencana non-alam COVID-19 ini. Hal ini juga disinyalir oleh Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Donny Monardo yang mengatakan bahwa Indonesia akan terbuka untuk menerima bantuan negara lain saat kondisi sudah memasuki level Bencana Nasional.
Secara tidak langsung, dapat dikatakan pemerintahan Jokowi sudah mulai kewalahan menanggulangi wabah virus Korona ini sendirian.Â
Sebetulnya ini dapat dibaca ketika baru-baru ini pemerintah menerbitkan surat utang (obligasi) global dalam Dolar Amerika Serikat sebesar 4,3 miliar Dolar AS (atau senilai Rp112 triliun dengan kurs Rp 16.000 per dolar AS) dengan tenor atau masa pengembalian pinjaman terpanjang sepanjang sejarah Indonesia yakni 50 tahun alias setengah abad. Tentu saja ini dikarenakan kondisi defisit APBN yang terus memburuk pasca-serangan virus Korona.
Status Bencana Nasional juga, secara hukum, berkonsekuensi pada pemberlakuan klausul force majeure atau keadaan kahar dalam banyak perjanjian atau kontrak bisnis, yang artinya peluang baik bagi kalangan dunia usaha untuk sedikit bernapas lega dengan memanfaatkan klausul tersebut guna merestrukturisasi utang atau pinjaman usaha dengan alasan keadaan kahar akibat kondisi Bencana Nasional.
Sayang jauh-jauh hari Menkokumham Mahfud MD sudah menegaskan bahwa status Bencana Nasional tidak dapat dijadikan dasar untuk pemberlakuan klausul force majeure atau keadaan kahar karena, menurutnya, hal tersebut diatur dalam ketentuan yang terpisah, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Agak disayangkan memang karena sebetulnya pemberlakuan klausul keadaan kahar karena status Bencana Nasional dapat menjadi dasar bagi kalangan industri leasing kendaraan bermotor guna memberikan keringanan atau penangguhan kredit kendaraan bermotor bagi kalangan terdampak COVID-19 seperti pengemudi ojek online (ojol) atau pekerja harian, sebagaimana yang diserukan oleh Presiden Jokowi sendiri yang notabene atasan Menteri Mahfud MD.
Baca Juga:Â Anarko Sindikalis, Prakondisi Darurat Sipil?
Jelas ini suatu contoh lain betapa ruwetnya koordinasi di kalangan pejabat pemerintah Indonesia, selain contoh sebelumnya perihal tumpang tindihnya Permenkes Terawan tentang PSBB (yang mengatur larangan ojol untuk mengangkut penumpang) dan Permenhub Luhut Binsar Panjaitan (Menko Kemaritiman dan Investasi yang juga merangkap Pejabat Sementara Menteri Perhubungan) yang memperbolehkan ojol mengangkut penumpang sepanjang mematuhi protokol keselamatan COVID-19.
Di samping tentunya ketidaksinkronan antara seruan physical distancing (jaga jarak aman) yang diserukan oleh Presiden Jokowi (yang diejawantahkan dalam aturan PSBB dari Menkes berupa larangan berkerumun lebih dari 5 orang di luar ruangan) dan pembagian sembako di jalan yang dilakukan oleh Jokowi dan Paspampres di daerah Bogor yang justru mengundang kerumunan massa di pinggir jalan.
Di tengah kondisi keterjepitan dan keruwetan koordinasi dan ketidaksinkronan tersebut, patut dicermati pernyataan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian (yang mantan Kapolri) bahwa diperlukan upaya pencegahan COVID-19 dengan cara sistematis hingga keras.
"Perkiraan dari Badan Intelijen Nasional (BIN) diperkirakan puncaknya mungkin sekitar Mei dan Juni. Kita berdoa harapan kita skenarionya segera ditemukan obat atau vaksinnya, ini nanti cepat selesai. Namun, jika tidak, maka perlu ada upaya-upaya untuk mencegah penularan dengan cara yang lebih sistematis dan mungkin dengan cara yang lebih keras. Tapi semua opsi sedang dilaksanakan," ujar sang jenderal polisi tersebut dalam rapat virtual dengan DPR pada Selasa, 14 April 2020.
Sejujurnya, hal ini membangkitkan ingatan publik pada pernyataan Presiden Jokowi tentang PSBB dengan didampingi kebijakan darurat Sipil pada akhir Maret 2020.
Pada 30 Maret 2020, sebagaimana dikutip banyak media nasional dan internasional, Presiden Jokowi tegas menyatakan dalam rapat terbatas tentang laporan Gugus Tugas COVID-19 di Istana Negara, "Saya minta kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, physical distancing, dilakukan dengan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi. Tadi sudah saya sampaikan, perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil."
Kendati pernyataan Jokowi kemudian diklarifikasi oleh Jubir Fajroel Rachman dan beberapa pejabat teras istana hingga kemudian berbuah status Darurat Kesehatan Masyarakat yang menelurkan PSBB sebagai turunannya, tak pelak pernyataan sang kepala negara itu mengundang banyak kritik dan kecaman dari berbagai kalangan yang khawatir akan potensi penyalahgunaan kekuasaan jika Darurat Sipil diberlakukan.
Jika menilik dasar hukumnya, status Darurat Sipil dapat ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya yang dikeluarkan di masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Dalam beleid tersebut diatur bahwa status darurat sipil, darurat militer, atau perang hanya diumumkan oleh presiden atau panglima tertinggi angkatan perang, baik untuk seluruh atau sebagian wilayah Republik Indonesia.
Ada tiga syarat pemberlakuan status Darurat Sipil, yakni:
(1) Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan atau akibat bencana alam, yang dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
(2) Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apa pun juga;
(3) Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Dan dalam beleid itu juga ditegaskan pada Pasal 3 bahwa penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat.
Alhasil, dengan mempertimbangkan semua hal tersebut di atas, apakah diterbitkannya status Bencana Nasional sekarang ini merupakan legitimasi atau justifikasi atau prakondisi atau apa pun istilahnya untuk status Darurat Sipil? Tentu hanya Istana dan Tuhan yang tahu kebenaran sejatinya.
Sejatinya, jika Istana melakukan blunder atau salah langkah dalam menimbang sikon dan suara rakyat dalam segala hal, tidak mustahil akan kian terjepit yang berujung pada posisi skakmat.
Semoga saja adagium demokrasi, vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), masih berlaku atau setidaknya masih diingat dan masih mendapat tempat di hati dan pikiran penguasa negeri ini.
Jakarta, 15 April 2020
Referensi:
kompas.com
detik.com
tirto.id
detik.com
Baca Juga:Â Darurat Sipil, April Mop atau Cek Ombak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H