Sayang jauh-jauh hari Menkokumham Mahfud MD sudah menegaskan bahwa status Bencana Nasional tidak dapat dijadikan dasar untuk pemberlakuan klausul force majeure atau keadaan kahar karena, menurutnya, hal tersebut diatur dalam ketentuan yang terpisah, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Agak disayangkan memang karena sebetulnya pemberlakuan klausul keadaan kahar karena status Bencana Nasional dapat menjadi dasar bagi kalangan industri leasing kendaraan bermotor guna memberikan keringanan atau penangguhan kredit kendaraan bermotor bagi kalangan terdampak COVID-19 seperti pengemudi ojek online (ojol) atau pekerja harian, sebagaimana yang diserukan oleh Presiden Jokowi sendiri yang notabene atasan Menteri Mahfud MD.
Baca Juga:Â Anarko Sindikalis, Prakondisi Darurat Sipil?
Jelas ini suatu contoh lain betapa ruwetnya koordinasi di kalangan pejabat pemerintah Indonesia, selain contoh sebelumnya perihal tumpang tindihnya Permenkes Terawan tentang PSBB (yang mengatur larangan ojol untuk mengangkut penumpang) dan Permenhub Luhut Binsar Panjaitan (Menko Kemaritiman dan Investasi yang juga merangkap Pejabat Sementara Menteri Perhubungan) yang memperbolehkan ojol mengangkut penumpang sepanjang mematuhi protokol keselamatan COVID-19.
Di samping tentunya ketidaksinkronan antara seruan physical distancing (jaga jarak aman) yang diserukan oleh Presiden Jokowi (yang diejawantahkan dalam aturan PSBB dari Menkes berupa larangan berkerumun lebih dari 5 orang di luar ruangan) dan pembagian sembako di jalan yang dilakukan oleh Jokowi dan Paspampres di daerah Bogor yang justru mengundang kerumunan massa di pinggir jalan.
Di tengah kondisi keterjepitan dan keruwetan koordinasi dan ketidaksinkronan tersebut, patut dicermati pernyataan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian (yang mantan Kapolri) bahwa diperlukan upaya pencegahan COVID-19 dengan cara sistematis hingga keras.
"Perkiraan dari Badan Intelijen Nasional (BIN) diperkirakan puncaknya mungkin sekitar Mei dan Juni. Kita berdoa harapan kita skenarionya segera ditemukan obat atau vaksinnya, ini nanti cepat selesai. Namun, jika tidak, maka perlu ada upaya-upaya untuk mencegah penularan dengan cara yang lebih sistematis dan mungkin dengan cara yang lebih keras. Tapi semua opsi sedang dilaksanakan," ujar sang jenderal polisi tersebut dalam rapat virtual dengan DPR pada Selasa, 14 April 2020.
Sejujurnya, hal ini membangkitkan ingatan publik pada pernyataan Presiden Jokowi tentang PSBB dengan didampingi kebijakan darurat Sipil pada akhir Maret 2020.
Pada 30 Maret 2020, sebagaimana dikutip banyak media nasional dan internasional, Presiden Jokowi tegas menyatakan dalam rapat terbatas tentang laporan Gugus Tugas COVID-19 di Istana Negara, "Saya minta kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, physical distancing, dilakukan dengan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi. Tadi sudah saya sampaikan, perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil."
Kendati pernyataan Jokowi kemudian diklarifikasi oleh Jubir Fajroel Rachman dan beberapa pejabat teras istana hingga kemudian berbuah status Darurat Kesehatan Masyarakat yang menelurkan PSBB sebagai turunannya, tak pelak pernyataan sang kepala negara itu mengundang banyak kritik dan kecaman dari berbagai kalangan yang khawatir akan potensi penyalahgunaan kekuasaan jika Darurat Sipil diberlakukan.
Jika menilik dasar hukumnya, status Darurat Sipil dapat ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya yang dikeluarkan di masa pemerintahan Presiden Soekarno.