Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Haruskah Fanatik pada KBBI?

11 April 2020   20:55 Diperbarui: 11 April 2020   20:57 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Haruskah fanatik pada KBBI?

Pertanyaan tersebut terlintas di benak saya sewaktu mengikuti pembahasan suatu topik bahasa di salah satu grup Whatsapp (WA) penerjemah tentang “mawas diri” versus “wawas diri”.

Berawal dari postingan Ivan Lanin, sang Wikipediawan Indonesia, di salah satu akun media sosialnya yang menyoal penggunaan kata “mawas diri”, yang selama ini lazim dikenal dan digunakan masyarakat, yang ternyata bukan kata baku versi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Versi kata bakunya justru “wawas diri”-- yang bentuk kata kerja atau verbanya adalah “mewawas diri” – yang bermakna “melihat (memeriksa, mengoreksi) diri sendiri secara jujur; introspeksi”.

Menurut Ivan Lanin, yang juga editor Google Indonesia kelahiran Sumatera Barat, dalam postingan tersebut, “mawas” merujuk pada nama lain dari “orang utan”, salah satu hewan khas Kalimantan.

Tentang
Tentang "Mawas Diri" dan "Wawas Diri"/Sumber: Akun Medsos Ivan Lanin

Sebenarnya, secara lengkap, jika langsung merujuk pada KBBI, “mawas” juga nama gendang yang terbuat dari tabung kayu dan kulit, yang bersumber dari khazanah bahasa Melayu Jambi.

Akan tetapi, berdasarkan argumen dari beberapa penutur asli (native speaker) bahasa Jawa, yang merupakan daerah asal kata “wawas”, dalil yang diajukan Ivan Lanin tampaknya tertolak karena, dalam perspektif praktik kelaziman berbahasa, hal tersebut wajar-wajar saja.

Mawas diri” adalah bentuk penyingkatan berdasarkan pelafalan masyarakat Jawa untuk kata “mewawas diri”, sebagaimana kebiasaan pengguna bahasa Jawa yang terbiasa menambahkan pelafalan huruf ‘M’ pada sejumlah kata. Misalnya, mbandung atau mbalelo. Maka, atas nama kemudahan penggunaan, lambat laun kata “mewawas diri” berubah menjadi “mawas diri”.

Dalam konteks lain, bukan kali ini saja dalil Ivan Lanin tertolak.

Usulannya untuk mengganti frasa “pulang pergi”, yang dianggapnya tidak logis dan tidak kronologis, menjadi “pergi pulang”, juga tertolak karena pertimbangan faktor sejarah, selera kebahasaan dan sastrawi dari suatu kata.

Toh, tidak selalu bahasa itu dapat dan harus ditakar dengan timbangan logika atau faktor eksak lainnya. Faktor inilah yang tampaknya luput dipertimbangkan oleh seorang Ivan Lanin yang notabene insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang kemudian ditahbiskan sebagai tokoh bahasa Indonesia karena kemahirannya mengemas edukasi bahasa secara simpel dan populer di media sosial bagi kalangan muda dan milenial.

Terlepas dari latar belakang akademik Ivan Lanin yang non-linguistik dan nihil pengalaman kesastraan, kesuksesan Ivan Lanin di panggung bahasa Indonesia kiwari membuktikan kebenaran adagium lama “setiap zaman punya tokohnya sendiri”.

Kembali ke pokok bahasan utama, alhasil, “mawas diri” tidaklah salah, ia hanya bukan kata baku atau tidak dipilih oleh Pusat Bahasa sebagai bentuk kata baku.

Lantas apa bedanya?

Baku versus non-baku dan kesalahkaprahan

Persoalan baku atau tidak baku tentu berbeda dengan salah atau benarnya suatu kata.

Seperti halnya “mawas diri”, kata “sendawa” yang juga sangat lazim dikenal masyarakat pengguna bahasa Indonesia juga mengalami nasib serupa.

Kendati “sendawa” diserap dari bahasa Jawa, tetapi versi kata baku yang terpilih di KBBI adalah “serdawa”. Agak kikuk di lidah sebetulnya untuk mengucapkan bentuk verba atau kata kerjanya yakni “beserdawa”, yang artinya “mengeluarkan serdawa”.

Di KBBI sendiri, “sendawa” dimasukkan untuk pengertian “bahan kimia Kalium Nitrat (KNO3), digunakan sebagai bahan campuran pembuatan mesiu; salpeter”.

Demikian juga kata “mucikari” atau “germo”, yang lazim dikenal dan digunakan masyarakat dalam pengertian induk semang atau bandar penyedia pelacur, yang ternyata versi kata bakunya adalah “muncikari”.

Itulah contoh kata-kata dalam tataran baku versus non-baku.

Sementara kata-kata yang terlanjur mengalami kesalahkaprahan atau keterbalikan makna dalam masyarakat, antara lain “acuh”, “geming”, “akut” dan “kronis”.

“Acuh” menurut KBBI adalah “peduli, mengindahkan”.

Namun, sebagian besar masyarakat kadung menganggap “acuh” adalah “tidak peduli” atau cuek. Sehingga sering terlontar kalimat seperti “dia sih acuh aja orangnya” yang dimaksudkan merujuk pada ketidakpedulian atau kecuekan seseorang. Padahal itu salah kaprah, Bung!

Demikian juga dengan “geming” yang artinya “terdiam”, atau bentuk turunannya yakni “bergeming” yang artinya “tidak bergerak sedikit juga; diam saja”.

Alhasil, jika Anda lihat istri Anda termenung di pojok kamar, semestinya Anda mengatakan, “Sayang, kok bergeming saja?” alih-alih “kok tidak bergeming?”

Persoalan apa pun respons istri Anda nantinya, entah tersenyum manis atau justru tambah cemberut, itu tentu lain urusan.

Jika istri Anda terus termenung sekian lama sampai lupa waktu,  dapatlah itu dikatakan persoalan “kronis”. Sementara jika ia yang tadinya tersenyum ceria kemudian mendadak termenung tanpa sebab, barulah itu namanya “akut”.

Apa bedanya?

Menurut KBBI, “kronis” adalah “(1) terus-menerus berlangsung; tahan dalam waktu yang lama (tentang keadaan); (2) berjangkit terus dalam waktu yang lama; menahun (tentang penyakit yang tidak sembuh-sembuh)”.

Sementara “akut” adalah “(1) timbul secara mendadak dan cepat memburuk (tentang penyakit); (2) memerlukan pemecahan segera; mendesak (tentang keadaan atau hal); gawat; (3) kurang dari 90 derajat (tentang sudut)”.

Fanatikus KBBI?

Beberapa kawan “menuding” saya sebagai fanatikus KBBI, dalam istilah lain “pedantis” atau “polisi bahasa”,  ketika dalam beberapa kesempatan, baik dalam obrolan grup maupun dalam diskusi tatap muka, saya mencoba mengingatkan mereka tentang kesalahkaprahan kata atau istilah yang mereka gunakan.

Biasanya saya cukup tersenyum saja. Kadang itu cara terbaik untuk mengatasi kemangkelan atau menjaga harmoni suatu hubungan. Apalagi jika Anda bisa tersenyum semanis mungkin.

Fanatik? Andai saja mereka tahu makna “fanatik” yang sebenarnya.

Dalam KBBI, “fanatik” didefinisikan sebagai “teramat kuat kepercayaan (keyakinan) terhadap ajaran (politik, agama dan sebagainya)”.

Sementara saya sendiri tidak selalu tunduk pada aturan penggunaan kata yang ditetapkan oleh KBBI. Saya cenderung bersikap selektif dan pilah-pilih, menyesuaikan dengan audiens atau lawan bicara atau juga dengan faktor prinsip atau keyakinan saya.

Contohnya, saya lebih cenderung tetap menggunakan “sholat” alih-alih “salat” sebagaimana yang dibakukan oleh KBBI.

Alasannya?

Secara pribadi bagi saya yang Muslim, kata “sholat” sudah merupakan transliterasi terbaik dari padanan kata “ash-sholaat” dalam bahasa Arab untuk pengertian ibadah rutin lima waktu bagi kalangan Muslim atau penganut agama Islam.

Selain itu, juga untuk membedakan kesamaan pelafalan dengan “salad” dari serapan bahasa Inggris yang merupakan jenis menu makanan berupa gabungan sayur-sayuran.

Dalam hal ini, rasa dan ekspresi keimanan tentu turut bermain. Dan dalam konteks tertentu, inilah aspek yang kadang luput diperhatikan oleh Pusat Bahasa dan para penyusun KBBI yang sampai saat ini sudah menerbitkan lima edisi KBBI.

Alhasil, alih-alih mengimbau untuk tunduk sepenuhnya pada KBBI, saya cenderung mengajak untuk lebih bersikap kritis pada KBBI.

Mengapa harus mengkritisi KBBI?

Ini sebetulnya jawaban atas pertanyaan besar di awal, yang juga judul utama tulisan ini, yakni “Haruskah fanatik pada KBBI?”

Tidak, itulah jawaban tegasnya.

Justru kita sebagai masyarakat pengguna bahasa Indonesia harus lebih bersikap kritis terhadap KBBI, dalam artian tidak lekas percaya dan tajam menganalisis dengan dasar pertimbangan yang rasional dan argumentatif.

Mengapa?

Pertama, KBBI adalah produk aturan manusia, bukan kitab suci ciptaan Tuhan.

Sebagai suatu bentuk aturan buatan manusia, haknya adalah dipatuhi, tapi dengan kritisisme yang berdasar dan rasional serta bertanggung jawab, alih-alih ketaatan buta tanpa pandang situasi kondisi dan latar belakang masalah.

Kedua, inkonsistensi prinsip penyusunan KBBI.

Kamus Dewan (semacam KBBI versi Malaysia) menyerap suatu kata bahasa asing dengan mengacu pada bentuk pelafalan bunyi kata tersebut. Sementara KBBI, sebagaimana aturan bahasa Indonesia untuk penyerapan suatu kata asing berdasarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) atau yang dahulu dikenal sebagai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), cenderung menyerap berdasarkan pengertian konsep atau makna atas suatu kata.

Contohnya, kata “type” dalam bahasa Inggris.

Jika bahasa Indonesia menerjemahkannya menjadi “(ke)tik” dan “pengetikan”, bahasa Melayu Malaysia memilih menyerapnya menjadi “taip” dan “penaipan”.

Namun, KBBI melanggar prinsipnya sendiri ketika turut memasukkan kata “haiking” sebagai padanan untuk kata “hiking” dalam bahasa Inggris yang didefinisikan sebagai “menjelajah; mendaki gunung”. Padahal dalam KBBI sendiri sudah ada padanan yang cukup indah, yakni “kelana alam”.

Demikian juga ketika KBBI memasukkan kata “twit” untuk padanan “tweet” yang biasa digunakan oleh para tweps (pengguna aplikasi medsos Twitter) untuk unggahan status atau komentar di aplikasi berlogo burung biru tersebut.

Padahal “cuitan” atau “kicauan” yang lebih mengindonesia sudah cukup lazim dan banyak digunakan serta populer di kalangan media dan jurnalis di Indonesia.

Jika inkonsistensi tersebut terus terjadi, kelak tak mustahil kita akan temui kata “onlen” dan “translet” di KBBI untuk padanan “online” dan “translate”. Meskipun sudah ada padanannya yang memadai, yakni “daring” atau “dalam jaringan” dan “menerjemahkan”. 

Ini pun sudah ada presedennya, yakni dimasukkannya kata "diler" dengan pengertian "pedagang penyalur" untuk padanan "dealer" kendati sudah ada kata "penyalur".

Di samping itu, juga terdapat inkonsistensi prinsip pembentukan kata. Contohnya adalah lema “punya” yang pada KBBI edisi kedua sempat ditetapkan versi verba bakunya adalah “memunyai” alih-alih “mempunyai” untuk pengertian “memiliki”.

Namun, pada akhirnya, setelah ramai diperdebatkan di kalangan praktisi bahasa dan linguis, pada KBBI edisi ketiga, kembali direvisi menjadi “mempunyai” sebagaimana yang sudah lazim dikenal dan digunakan masyarakat umum sejak dahulu kala.

Tidak sampai di situ saja. Inkonsistensi pun terjadi dalam pengorientasian bahasa acuan.

Ambil contoh kata “debet” dalam konteks istilah keuangan atau akuntansi.

Para pengguna bahasa Indonesia, terutama kalangan praktisi akuntansi, lazim menggunakan pasangan kata “debet” dan “kredit”.

Namun, ternyata KBBI, setidaknya berdasarkan KBBI edisi keempat, menetapkan kata “debet” sebagai bentuk tidak baku atau non-baku. Sementara versi bakunya adalah “debit”, termasuk kata turunannya yakni "pendebitan" alih-alih "pendebetan".

Rupanya telah terjadi pergeseran orientasi bahasa acuan.

Kata “debet” dan “kredit” dalam bahasa Indonesia pada awalnya diserap dari bahasa Belanda yakni “debet” dan “krediet”. Hal itu terkonfirmasikan berdasarkan Kamus Umum Belanda Indonesia yang disusun oleh Prof. Drs. S. Wojowasito (penerbit PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999).

Namun, seiring waktu, karena perkembangan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional utama yang sangat masif dan agresif, bahasa Belanda yang awalnya menjadi acuan bagi sebagian kata dalam KBBI pun tergusur.

Termasuk atas kata “debet” yang dialihkan orientasinya menjadi mengacu pada kata “debit” dalam bahasa Inggris yang definisinya adalah “account entry of a payment or debt; record as a debt” (Webster’s American English Dictionary).

Alhasil, jika standar acuan berubah, maka segalanya juga akan berubah. Maka “debet” pun tersingkir sebagai kata baku, dan “debit” naik takhta sebagai pertanda kedigjayaan serapan bahasa Inggris.

Saat ini menurut KBBI, yang baku adalah “debit” dan “kredit” yang mengacu pada kata-kata bahasa Inggris yakni "debit" dan "credit".

Tak heran belakangan muncul kata “kartu debit” alih-alih “kartu debet”. Kendati dalam praktik keseharian kalangan praktisi, tetap saja yang digunakan adalah “debet” dan “kredit”.

Ketidaksinkronan yang tidak perlu akibat inkonsistensi inilah yang tampaknya perlu diperhatikan secara serius oleh Pusat Bahasa sebagai lembaga yang berwenang menerbitkan KBBI sebagai acuan standar perkamusan bahasa Indonesia di negeri tercinta ini.

Aspek kelaziman berbahasa dan juga faktor sosio-kultural masyarakat Indonesia sebagai pengguna bahasa Indonesia juga perlu diperhatikan oleh Pusat Bahasa dan Tim Penyusun KBBI tinimbang bereksperimen menciptakan kata-kata baru yang terkadang hanya berjejal memadati kamus besar tersebut, tanpa banyak digunakan atau bahkan untuk sekadar dikenal atau diketahui oleh masyarakat umum.

Kata “sangkil dan mangkus” adalah contoh paling populer suatu kata kreasi baru yang jelas-jelas tidak laku, karena kalah bersaing dengan kata “efektif dan efisien” yang sudah sejak lama diserap dari bahasa Belanda, yakni “effectief” dan “efficiency”.

Pada akhirnya, bukanlah Ivan Lanin atau Pusat Bahasa yang berkuasa menentukan apakah suatu kata itu dapat diterima oleh masyarakat atau tidak, tetapi masyarakat pengguna itu sendiri yang punya kuasa.

Alhasil, perlu adanya suatu kerja sama berlandaskan sikap kepedulian timbal balik yang kritis, bertanggung jawab serta bijak mempertimbangkan berbagai aspek multi-dimensi antara berbagai pihak yang terkait atau para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam penyusunan KBBI yang lebih ramah pengguna, luwes-adaptif namun kukuh berprinsip, serta lebih membumi.

Karena sejatinya bahasa itu adalah untuk kepentingan seluruh masyarakat pengguna alih-alih untuk pemuasan syahwat intelektual kalangan elite tertentu belaka.

Kramat Babakan, 11 April 2020

Baca Juga: Kepo Korona dan Superhero, Adiwira, dan Adisatria

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun