Haruskah fanatik pada KBBI?
Pertanyaan tersebut terlintas di benak saya sewaktu mengikuti pembahasan suatu topik bahasa di salah satu grup Whatsapp (WA) penerjemah tentang “mawas diri” versus “wawas diri”.
Berawal dari postingan Ivan Lanin, sang Wikipediawan Indonesia, di salah satu akun media sosialnya yang menyoal penggunaan kata “mawas diri”, yang selama ini lazim dikenal dan digunakan masyarakat, yang ternyata bukan kata baku versi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Versi kata bakunya justru “wawas diri”-- yang bentuk kata kerja atau verbanya adalah “mewawas diri” – yang bermakna “melihat (memeriksa, mengoreksi) diri sendiri secara jujur; introspeksi”.
Menurut Ivan Lanin, yang juga editor Google Indonesia kelahiran Sumatera Barat, dalam postingan tersebut, “mawas” merujuk pada nama lain dari “orang utan”, salah satu hewan khas Kalimantan.
Sebenarnya, secara lengkap, jika langsung merujuk pada KBBI, “mawas” juga nama gendang yang terbuat dari tabung kayu dan kulit, yang bersumber dari khazanah bahasa Melayu Jambi.
Akan tetapi, berdasarkan argumen dari beberapa penutur asli (native speaker) bahasa Jawa, yang merupakan daerah asal kata “wawas”, dalil yang diajukan Ivan Lanin tampaknya tertolak karena, dalam perspektif praktik kelaziman berbahasa, hal tersebut wajar-wajar saja.
“Mawas diri” adalah bentuk penyingkatan berdasarkan pelafalan masyarakat Jawa untuk kata “mewawas diri”, sebagaimana kebiasaan pengguna bahasa Jawa yang terbiasa menambahkan pelafalan huruf ‘M’ pada sejumlah kata. Misalnya, mbandung atau mbalelo. Maka, atas nama kemudahan penggunaan, lambat laun kata “mewawas diri” berubah menjadi “mawas diri”.
Dalam konteks lain, bukan kali ini saja dalil Ivan Lanin tertolak.