Usulannya untuk mengganti frasa “pulang pergi”, yang dianggapnya tidak logis dan tidak kronologis, menjadi “pergi pulang”, juga tertolak karena pertimbangan faktor sejarah, selera kebahasaan dan sastrawi dari suatu kata.
Toh, tidak selalu bahasa itu dapat dan harus ditakar dengan timbangan logika atau faktor eksak lainnya. Faktor inilah yang tampaknya luput dipertimbangkan oleh seorang Ivan Lanin yang notabene insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang kemudian ditahbiskan sebagai tokoh bahasa Indonesia karena kemahirannya mengemas edukasi bahasa secara simpel dan populer di media sosial bagi kalangan muda dan milenial.
Terlepas dari latar belakang akademik Ivan Lanin yang non-linguistik dan nihil pengalaman kesastraan, kesuksesan Ivan Lanin di panggung bahasa Indonesia kiwari membuktikan kebenaran adagium lama “setiap zaman punya tokohnya sendiri”.
Kembali ke pokok bahasan utama, alhasil, “mawas diri” tidaklah salah, ia hanya bukan kata baku atau tidak dipilih oleh Pusat Bahasa sebagai bentuk kata baku.
Lantas apa bedanya?
Baku versus non-baku dan kesalahkaprahan
Persoalan baku atau tidak baku tentu berbeda dengan salah atau benarnya suatu kata.
Seperti halnya “mawas diri”, kata “sendawa” yang juga sangat lazim dikenal masyarakat pengguna bahasa Indonesia juga mengalami nasib serupa.
Kendati “sendawa” diserap dari bahasa Jawa, tetapi versi kata baku yang terpilih di KBBI adalah “serdawa”. Agak kikuk di lidah sebetulnya untuk mengucapkan bentuk verba atau kata kerjanya yakni “beserdawa”, yang artinya “mengeluarkan serdawa”.
Di KBBI sendiri, “sendawa” dimasukkan untuk pengertian “bahan kimia Kalium Nitrat (KNO3), digunakan sebagai bahan campuran pembuatan mesiu; salpeter”.
Demikian juga kata “mucikari” atau “germo”, yang lazim dikenal dan digunakan masyarakat dalam pengertian induk semang atau bandar penyedia pelacur, yang ternyata versi kata bakunya adalah “muncikari”.