Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perihal Jodoh

23 Maret 2020   20:56 Diperbarui: 23 Maret 2020   21:14 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dibandingkan dengan beberapa kakak saya yang menikah dalam usia di bawah tiga puluh tahun, saya tergolong lambat menikah. Allah baru takdirkan saya bertemu jodoh dan menikah di ujung usia 30. Itu pun setelah melalui serangkaian drama percintaan dan seleksi alami sekian kandidat dalam sekian tahun. Dalam bahasa generasi milenial sekarang: "Kelamaan jagain jodoh orang lain".

Yah, begitulah, jodoh memang di tangan Tuhan, bukan di tangan kita.

Namun, seperti kata Kate Winslet dalam film Sense and Sensibility arahan sutradara Ang Lee, "Mencintai itu harus seperti kobaran api."

Betul, Jeng Kate, mencari jodoh itu harus bersemangat, membara laksana api. Jangan adem ayem. Kendati jodoh sudah ditetapkan Tuhan, ia tetap harus dijemput. Karena jodoh adalah bagian dari rizki yang harus dijemput dan diikhtiarkan.

Nah, sekarang apa ikhtiarmu, Bro?

Problem pertama memang, saya pun pernah merasakannya, adalah menemukan pasangan yang cocok. Inilah problem jika kita pilih-pilih tebu dan mengabaikan prinsip 3 B, yakni berdoa, berusaha, dan becermin.

Yang lebih mudah adalah membalik logikanya. Jangan cari pasangan yang cocok, tapi carilah kecocokan dari pasangan.

"Sikap menerima dan mau menanggung adalah kuburan bagi aib dan kekurangan," ujar Ali bin Abi Thalib. Intinya, kenali diri sendiri sebelum mengenali orang lain. Jika diri sendiri tak kenal, bagaimana bisa mengenal orang lain, dan bagaimana jodoh bisa datang?

Ini sekadar cerita tentang seorang kawan lama saya. Sebut saja namanya Anto.

Sebagai jomlo, Bung Anto ini bisa dibilang masuk kategori High Quality Jomlo alias lajang bermutu. Sebagai alumnus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Jakarta, ia dikenal sebagai aktivis mahasiswa yang kerap memegang jabatan bergengsi di organisasi kemahasiswaan. Indeks prestasi akademiknya juga bagus. Selepas lulus kuliah pun pekerjaannya lumayan, sebagai peneliti di salah satu lembaga riset swasta bergengsi. Dari segi fisik, tampangnya tak mengecewakan, berkulit putih, dan punya kemampuan komunikasi yang mengesankan.

Namun, lewat usia tiga puluhan kala itu, selalu saja kisah percintaannya berakhir tragis. Kurang lebih enam kali kegagalan cinta dideritanya.

Waktu itu saya pernah bertanya tentang kriteria wanita pendampingnya.

"Berjilbab, cantik, putih, tinggi, usia lebih muda 4-6 tahun daripada saya, minimal lulusan S-1 PTN, sudah bekerja mapan, pengetahuan agamanya bagus, dan berpengetahuan luas supaya bisa nyambung diskusi," jawabnya.

Well, berat juga, pikir saya. Tapi, menurutnya, karena ia juga berikhtiar lewat jalur ta'aruf atau perjodohan, ada juga kriteria seperti itu, tapi belum ada yang cocok, ujarnya.

"Ada dokter keturunan Arab. Cantik sih, tapi nggak nyambung ngobrol. Kaku."

"Orang Betawi sih. Tau sendiri biaya nikahnya mahal!"

"Wawasannya luas, manis juga orangnya. Tapi lulusan D-3, swasta pula."

"Ada yang sesuai kriteria banget, tapi keluarga besar saya nggak setuju."

Duh, pusing juga ya, saya membatin. Alhasil, jelang pertengahan usia 30-an, barulah Bung Anto ini menemukan jodohnya. Tak sesuai kriterianya memang, karena ia memilih berkompromi dengan realitas, katanya.

Syukurlah, ujar saya saat itu, karena toh yang dicari adalah calon istri, bukan calon karyawan atau direktur!

Nah, problem kedua adalah masalah persiapan. Persiapan yang baik adalah setengah dari keberhasilan. Dan sebagai bagian dari persiapan, niat adalah pondasi terpenting. Alhasil, luruskan niat selurus-lurusnya. Termasuk niat menikah untuk menjaga kesucian diri atau menghindarkan diri dari maksiat perzinaan atau pergaulan seks bebas di luar pernikahan.

Ada satu adegan menarik dalam film The Sweetest Thing produksi Hollywood (2003) ketika salah seorang gadis menghibur rekannya yang baru saja putus cinta,"Jika kamu mempersiapkan dirimu, pada saatnya pasangan hidupmu akan tersedia secara alami."

Termasuk persiapan mental spiritual dan persiapan finansial. Termasuk dalam persiapan mental adalah membina kesabaran. Kesabaran juga merupakan syarat mutlak kebahagiaan dan keteguhan pernikahan. Inilah produk dari apa yang disebut kepribadian yang matang (mature personality).

Konon di zaman Tiongkok kuno, seorang kaisar Tiongkok kuno bertanya kepada seorang kepala suku ddari suatu suku yang selama berabad-abad dikenal memiliki tradisi pernikahan yang berbahagia, "Apakah kunci kebahagiaan itu?"

Kepala suku itu menjawab dengan menuliskan sebuah kata "Sabar" sebanyak seratus kali.

Membina kesabaran sebagai bagian dari persiapan mental spiritual mengarah pada kematangan emosional dan sosial.

Salah satu bentuk kematangan emosional adalah kemandirian, melepaskan diri dari ketergantungan kepada orang tua atau wali atau pihak lain yang terlalu dominan dalam hidup kita.

Sementara salah satu bentuk kematangan sosial adalah kemampuan diri untuk beradaptasi dan menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain. Seseorang dapat disebut matang jika mampu memahami kondisi orang lain, baik kekurangan maupun kelebihan yang dimilikinya, sehingga memudahkannya untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.

Untuk persiapan finansial, jika belum mapan berbisnis atau bekerja kantoran, setidaknya peganglah prinsip "yang penting tetap berpenghasilan". Tetap berpenghasilan kendati belum atau tidak berpenghasilan tetap.

Jika tabungan belum mencukupi, bekerjalah atau berbisnislah lebih keras dan lebih cerdas. Buka usaha sampingan atau peluang halal lainnya, atau carilah kerja sampingan atau freelance guna menambah pundi-pundi tabungan pernikahan.

Toh, seperti kata Robert Kiyosaki, uang adalah masalah ide. Lagipula itulah tantangan awal sebagai pondasi berumahtangga kelak. Tak heran bila Abraham Maslow, sang psikolog masyhur yang menikah muda pada usia 21 tahun, menyebut pernikahan sebagai jenjang menuju kedewasaan sejati.

Lantas apakah persoalan finansial benar-benar menjadi masalah untuk segera menikah?

Apakah persoalan tampang atau fisik menjadi penyebab lambat menikah?

Tuhan yang Maha Adil tidak menentukan cepat lambatnya jodoh berdasarkan persoalan kantong atau tampang. Jika hanya sekadar berdasarkan dua hal itu, tentulah para jomlo atau lajang di dunia ini hanyalah orang-orang yang dianggap kurang secara fisik atau yang berkantong tipis. Kenyataannya tidak kan?

Banyak lajang ganteng dan kaya yang bahkan hingga usia 50-an belum beristri. Atau gadis cantik nan menawan usia 40-an yang mapan dan cerdas yang resah menanti pasangan. Ini tentu terlepas dari pilihan pribadi mereka untuk tetap melajang atau tidak menikah yang merupakan privasi tiap individu.

Menikah seperti halnya memiliki anak dan kepemimpinan adalah sebuah amanah istimewa. Istimewanya lagi, ia bagian dari misteri Ilahi seperti kematian. Bagi yang menghindari pernikahan, ia akan datang juga jika sudah takdirnya tiba. Bagi yang merasa sulit jodoh, barangkali patut introspeksi diri. Mungkin ada bagian dari diri kita yang perlu diperbaiki sebelum Tuhan pandang kita siap memikul amanah tersebut.

Aisyah Radiyallahu 'Anha berkata, "Untuk melihat apakah dalam diri kita ada peningkatan, kita bisa melihatnya dari tiga hal yakni dari iman, ilmu, dan amal. Apakah ketiganya bertambah atau tidak? Jika tidak ada pertambahan, berarti kita belum melakukan perbaikan."

Sementara bagi para lajang yang memenuhi aspek kematangan mental, finansial, dan fisik untuk menikah, patut diingat pesan Ali bin Abi Thalib ini: "Orang yang suka bersegera mengerjakan urusan bertanya kenapa ditunda, sementara orang yang suka menunda-nunda urusan gemar mencari-cari alasan untuk menunda."

Jakarta, 16 Maret 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun