Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sewa Influencer 72 M Hadapi COVID-19, Out of The Box atau Out of Mind?

4 Maret 2020   14:22 Diperbarui: 4 Maret 2020   15:13 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi dan Menkes Terawan saat pengumuman kasus resmi COVID-19 di Indonesia/Sumber: kompas.tv

Rencana pemerintah Republik Indonesia (RI) di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menggenjot pariwisata Indonesia di tengah pandemi global COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) dengan memberikan insentif diskon tiket pesawat terbang dan menyewa influencer memang cukup mengejutkan di tengah keengganan warga dunia berwisata ke luar negeri akibat meruyaknya pandemi virus Korona dan kembang-kempisnya Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN) saat ini.

Sebelumnya terbetik kabar pemerintah Jokowi berencana mengucurkan dana sebesar Rp72 miliar untuk para influencer. Dana yang diambil dari APBN ini diberikan untuk mendorong pariwisata Indonesia yang merosot akibat wabah virus Korona. 

Selain untuk influencer, pemerintah juga menganggarkan Rp98,5 miliar untuk maskapai penerbangan dan biro perjalanan. Kemudian, Rp103 miliar untuk anggaran promosi dan kegiatan pariwisata sebesar Rp 25 miliar. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dalam jumpa pers seusai rapat terbatas kabinet pada 25 Februari 2020.

Namun, setelah ramai dipersoalkan warganet (netizen) seputar anggaran untuk influencer yang dinilai kelewat besar, pernyataan Menko Ekonomi tersebut diklarifikasi oleh Menteri Pariwisata Wishnutama bahwa dana 72 miliar itu tidak semua untuk menyewa influencer, tapi "juga untuk berbagai komponen promosi pariwisata Indonesia" (Kompas.com, 27 Februari 2020).

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Senin, 2 Maret 2020, jumlah kunjungan wisatawan asing atau wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia mengalami penurunan sebesar 7,62 persen untuk periode Januari 2020 dibandingkan periode Desember 2019 (1,37 juta wisman).  Sementara, untuk periode Januari 2020 (1,37 juta wisman) dibandingkan periode Januari 2019 (1,2 juta wisman), jumlahnya cenderung meningkat sebesar 5,85 persen.

Berdasarkan statistik kunjungan wisman melalui jalur udara (bandara), yang merupakan jalur favorit para wisman, masing-masing tercatat 706.704 kunjungan pada Januari 2019, 838.978 pada Desember 2019, dan 796.934 pada Januari 2020.

Memang pandemi global virus Korona cukup memukul sektor pariwisata Indonesia, yang belakangan menggeliat ambisius membangun 10 destinasi wisata Bali Baru (New Bali) guna membidik target 17 juta wisman pada 2020. Ini sebetulnya tak hanya dialami Indonesia, tapi juga terjadi di negara-negara lain di dunia.

Namun, apakah logis menghamburkan dana 72 M untuk promosi pariwisata di tengah kelesuan global ini? Tidakkah mubazir dana sekian besar dari pajak rakyat untuk membayar barisan influencer yang belum tentu juga efektif hasilnya mendatangkan para wisman ke Nusantara?

Demikianlah pertanyaan publik yang mengemuka atas rencana rezim Jokowi tersebut. Wajar saja jika warganet yang sedikit banyak merupakan representasi rakyat Indonesia yang membayar pajak yang merupakan sumber APBN menyoal keras rencana ambisius tersebut.

Namun, jika kita berupaya berempati pada posisi pemerintahan Jokowi saat ini, tampaknya Presiden Jokowi sedang berusaha keras menempuh langkah anti-mainstream atau out of the box dalam konteks ini.

Untuk mempermudah penjelasannya, mari saya ilustrasikan dengan sebuah cerita (entah fiksi atau berdasarkan pengalaman nyata) dalam sebuah buku bisnis belasan tahun silam.

Konon ada dua orang salesman atau wiraniaga penjual sepatu yang sama-sama ditugaskan oleh suatu perusahaan sepatu yang sama guna membuka pasar di sebuah pulau terpencil.

"Sejauh ini belum ada perusahaan sepatu lain yang mendatangi pulau tersebut. Penduduk pulau itu juga belum mengenal budaya bersepatu, mereka terbiasa berjalan telanjang kaki ke mana-mana," demikian taklimat sang manajer pemasaran kepada kedua orang wiraniaga tersebut.

Wiraniaga yang pertama mengernyitkan dahi. "Ah, buat apa lelah-lelah ke sana jika mereka tak biasa bersepatu. Tak bakal laku produk kita, Pak," ujarnya pesimis. Ia pun menolak penugasan tersebut.

Berbeda dengan wiraniaga yang kedua. Ia tampak bersemangat. Senyumnya terkembang lebar. "Baik, Pak, itu justru peluang baik bagi perusahaan kita!" sambutnya optimis. Maka ditugaskanlah ia ke pulau tersebut, membuka pasar dan jaringan pemasaran baru. Singkat cerita, konon ia berhasil mengedukasi penduduk pulau itu untuk terbiasa bersepatu, dan meraup keuntungan besar karena volume penjualan sepatu yang tinggi.

Luar biasa, bukan? Barangkali miriplah seperti kisah gelas setengah terisi air. Yang lain menyebutnya "setengah kosong", sementara yang lain menyebutnya "setengah penuh". Segalanya tergantung perspektif atau sudut pandang kita.

Nah, dalam konteks itulah tampaknya Jokowi berupaya menepis keraguan publik. Dengan asumsi jika negara-negara lain cenderung mengendurkan upaya promosi pariwisata negara mereka, termasuk Arab Saudi yang bahkan membatasi kunjungan umrah dari negara asing ke Tanah Suci (Mekah dan Madinah) yang berada dalam yurisdiksinya, mengapa tidak lantas Indonesia berinisiatif mengedukasi publik dunia (melalui peran para influencer asing yang kabarnya bakal disewa) agar tak ragu untuk tetap bepergian ke Indonesia dan termasuk berbelanja yang bakal menggendutkan pundi-pundi devisa Indonesia? Inilah peluang emas, mungkin demikian pikir sang presiden yang juga mantan pengusaha mebel asal Solo ini.

Namun, perlu diingat bahwa ada perbedaan aplikasi pola berpikir out of the box (di luar kotak) a la Henry Ernest Dudeney (matematikawan asal Inggris yang menemukan pola pikir tersebut), yang menurut Edward de Bono disebut sebagai lateral thinking atau berpikir lateral atau menyamping, di dunia bisnis dan di lembaga pemerintahan.

Jokowi semestinya sadar betul bahwa posisinya kini adalah sebagai presiden RI, bukan sekadar pemilik PT Rakabu atau PT Toba Lestari, untuk sekadar menyebut beberapa perusahaan yang dimiliki sang mantan gubernur DKI Jakarta ini. Artinya, ada rakyat Indonesia sebagai stakeholder (pemangku kepentingan) yang perlu didengar aspirasinya dan diperhatikan kebutuhannya, dan ada uang rakyat (yakni APBN) yang mesti dipertanggungjawabkan kepada rakyat (melalui para wakil rakyat di parlemen) dan kelak di hadapan Tuhan di akhirat nanti.

Di sisi lain, gelontoran dana yang sangat besar untuk promosi pariwisata di tengah kelesuan ekonomi dunia akibat gempuran virus Korona adalah suatu hal berisiko besar, laksana gambling atau perjudian nasib, mengingat keuangan negara yang cekak dan defisit ekspor dan devisa negara selama dua tahun terakhir. 

Di tengah mewabahnya COVID-19 di seluruh dunia, serbuan wisman cenderung akan berpotensi risiko yang lebih besar untuk penyebaran virus yang lebih masif, terutama jika fasilitas dan kesiapan personel medis dan kesehatan Indonesia, terutama di bandara atau pelabuhan sebagai pintu utama wisman, belum siap dan sigap untuk mendeteksi dan mengatasi dampak COVID-19.

Ditambah lagi dengan rencana iming-iming fasilitas insentif diskon tiket pesawat terbang untuk penerbangan domestik (Garuda Indonesia kabarnya bahkan mendiskon 50 persen tarif tiket domestiknya), justru bakal memperburuk penyebaran virus Korona. 

Jika serombongan wisman asing yang ternyata positif virus Korona tak terdeteksi di bandara dan berhasil masuk Indonesia, dan leluasa bepergian ke mana saja dengan pesawat terbang domestik di Indonesia memanfaatkan fasilitas insentif diskon tersebut, apa jadinya nasib warga lokal yang akan kian terpapar atau terekspos COVID-19?

Bukankah tertularnya dua warga Depok Jabar (pasangan ibu dan puterinya) yang secara resmi dinyatakan sebagai dua kasus virus Korona pertama di Indonesia (yang kemudian berujung pada penetapan status Kejadian Luar Biasa atau KLB COVID-19 di Indonesia) adalah akibat interaksi puterinya dengan warga negara Jepang yang positif mengidap virus Korona?

Warga negara Jepang itu sendiri baru terdeteksi mengidap virus Korona setelah menjalani tes kesehatan di rumah sakit Malaysia selepas lawatannya ke Indonesia. Ironisnya, kendati warga Depok yang tertular dari warga negara Jepang itu berkali-kali berobat ke sebuah rumah sakit di Depok karena batuk pilek (dugaan awal), barulah di detik terakhir ia diketahui mengidap virus Korona (itu pun setelah mendapat informasi bahwa teman Jepangnya itu positif Korona), sehingga kabarnya sekitar 70 petugas medis di RS tersebut terpaksa dirumahkan (persoalan kenapa "dirumahkan" alih-alih "dikarantina" itu sendiri hangat menjadi perdebatan publik).

Inilah bukti betapa lemahnya deteksi dini virus Korona di Indonesia sekaligus ketidaksiapan dan keteledoran pemerintah. Barangkali ini juga efek karena kelewat santainya respons pemerintah sejak beberapa bulan sebelumnya akibat overconfidence (kepercayaan diri yang berlebih) bahwa virus Korona takkan mampir di Indonesia karena mitos iklim tropis dan mitos kekebalan alamiah orang Indonesia. Ini jelas kontras jika dibandingkan dengan persiapan jauh-jauh hari negara-negara jiran, seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, atau Australia.

Terlepas dari berapa sebenarnya jumlah kasus virus Korona yang ada (karena ada kecurigaan pemerintah sengaja menutupi jumlah sebenarnya demi meminimalkan ketakutan publik), tampaknya pemerintah Jokowi harus menimbang ulang rencana paket stimulus promosi pariwisata tersebut demi kemaslahatan rakyat Indonesia dan bukan hanya memikirkan cuan atau keuntungan yang dibayangkan melimpah saja.

Bagaimana pun juga Pak Jokowi sebagai presiden Republik Indonesia adalah pengemban amanat rakyat Indonesia, alih-alih pemikul interes kepentingan para taipan yang hanya berpikir proyek cuan atau fulus semata. Toh, niat baik harus disertai cara yang baik. Setidaknya agar jangan sampai langkah yang dimaksudkan sebagai terobosan out of the box justru terjerembab menjadi langkah yang out of mind.

Dukuh Atas, 4 Maret 2020

Rujukan
kompas.com
kompas.com
bisnis.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun