Jika serombongan wisman asing yang ternyata positif virus Korona tak terdeteksi di bandara dan berhasil masuk Indonesia, dan leluasa bepergian ke mana saja dengan pesawat terbang domestik di Indonesia memanfaatkan fasilitas insentif diskon tersebut, apa jadinya nasib warga lokal yang akan kian terpapar atau terekspos COVID-19?
Bukankah tertularnya dua warga Depok Jabar (pasangan ibu dan puterinya) yang secara resmi dinyatakan sebagai dua kasus virus Korona pertama di Indonesia (yang kemudian berujung pada penetapan status Kejadian Luar Biasa atau KLB COVID-19 di Indonesia) adalah akibat interaksi puterinya dengan warga negara Jepang yang positif mengidap virus Korona?
Warga negara Jepang itu sendiri baru terdeteksi mengidap virus Korona setelah menjalani tes kesehatan di rumah sakit Malaysia selepas lawatannya ke Indonesia. Ironisnya, kendati warga Depok yang tertular dari warga negara Jepang itu berkali-kali berobat ke sebuah rumah sakit di Depok karena batuk pilek (dugaan awal), barulah di detik terakhir ia diketahui mengidap virus Korona (itu pun setelah mendapat informasi bahwa teman Jepangnya itu positif Korona), sehingga kabarnya sekitar 70 petugas medis di RS tersebut terpaksa dirumahkan (persoalan kenapa "dirumahkan" alih-alih "dikarantina" itu sendiri hangat menjadi perdebatan publik).
Inilah bukti betapa lemahnya deteksi dini virus Korona di Indonesia sekaligus ketidaksiapan dan keteledoran pemerintah. Barangkali ini juga efek karena kelewat santainya respons pemerintah sejak beberapa bulan sebelumnya akibat overconfidence (kepercayaan diri yang berlebih) bahwa virus Korona takkan mampir di Indonesia karena mitos iklim tropis dan mitos kekebalan alamiah orang Indonesia. Ini jelas kontras jika dibandingkan dengan persiapan jauh-jauh hari negara-negara jiran, seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, atau Australia.
Terlepas dari berapa sebenarnya jumlah kasus virus Korona yang ada (karena ada kecurigaan pemerintah sengaja menutupi jumlah sebenarnya demi meminimalkan ketakutan publik), tampaknya pemerintah Jokowi harus menimbang ulang rencana paket stimulus promosi pariwisata tersebut demi kemaslahatan rakyat Indonesia dan bukan hanya memikirkan cuan atau keuntungan yang dibayangkan melimpah saja.
Bagaimana pun juga Pak Jokowi sebagai presiden Republik Indonesia adalah pengemban amanat rakyat Indonesia, alih-alih pemikul interes kepentingan para taipan yang hanya berpikir proyek cuan atau fulus semata. Toh, niat baik harus disertai cara yang baik. Setidaknya agar jangan sampai langkah yang dimaksudkan sebagai terobosan out of the box justru terjerembab menjadi langkah yang out of mind.
Dukuh Atas, 4 Maret 2020
Rujukan
kompas.com
kompas.com
bisnis.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H