1. Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa dengan menyandang dua aspek individual (pribadi) dan aspek sosial (bermasyarakat). Pancasila menjunjung tinggi keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makluk Tuhan sehingga setiap orang memiliki kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain.
2. TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM
TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM yang di kukuhkan Pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang di selenggarakan pada tanggal 13 November 1998 sebagai salah satu bentuk dan upaya pemerintah pusat untuk menghadapi masalah pelanggaran HAM yang kian marak di Indonesia dan tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Selain itu, hadirnya TAP MPR ini adalah sebagai upaya untuk menjawab tuntutan reformasi yang berlangsung pada tahun 1998. Adapun kandungan dari TAP MPR tersebut No.XVII/MPR/1998 tentang HAM yaitu : a. Pasal 2 berbunyi "Menugaskan kepada Lembaga-Lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat". b. Pasal 3 yang berbunyi "Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwailan Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945".14
3. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD 1945)
Hak Asasi Manusia dalam bidang politik, ekonomi, social, dan budaya dalam hal ini sangat di tegaskan di dalam pasal-pasal dalam UUD 1945. Pasal-pasal tersebut adalah: * Pasal 27 ayat (1), (2), dan (3); * Pasal 28 A; * Pasal 28 B ayat (1), (2); * Pasal 28 C ayat (1) dan (2); * Pasal 28D ayat (1), (2), (3) dan (4); * Pasal 28E ayat (1), (2), (3); * Pasal 28F; * Pasal 28G ayat (1) dan (2); * Pasal 28H ayat (1), (2), (3) dan (4); * Pasal 28I ayat (1), (2), (3), (4) dan (5); * Pasal 28J ayat (1) dan (2).
4. Undang-Undang
1) Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang ini merupakan salah satu instrumen hukum tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan instrumen pokok untuk melindungi dan menjamin semua hak setiap individu manusia. Undang-undang ini merujuk pada kategorisasi yang termasuk dalam ICCPR, UDHR, CRC, ICESCR, dan lain sebagainya. Sehingga pembahasan tentang pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang sangat luas di muat secara detail dalam Undangundang ini. Selain itu, Undang-Undang ini memiliki beberapa kekurangan yang cukup mendasar, beberapa di antaranya yaitu tentang penjabaran dan pemahaman hak asasi manusia dan masih menempatkan kewajiban asasi manusia yang seharusnya termasuk ke dalam ranah hukum pidana. Selain itu, konsep tentang HAM dalam Undang- Undang ini terdapat pengkaburan dalam hal pertanggungjawaban hukumnya hal ini di sebabkan karena Undang-Undang ini masih belum bisa membedakan secara jelas antara konsep tentang hak asasi manusia dan konsep tentang hukum pidana pada umumnya.
2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Instrumen hukum ini mengatur tentang dua hal yaitu Dalam hal pengaturan pelaksanaan tentang proses hukum acara pada pengadilan HAM, dan dalam pengaturan tentang perbuatan pidana yang di golongkan sebagai bentuk pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia. Adapun kekurangan mendasar dari Undang-undang ini yaitu, karena kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida termasuk bentuk kejahatan pidana internasional yang menjadi kewenangan Mahkamah Pidana Internasional untuk menanganinya, dan Pengadilan HAM tidak memiliki kewenangan untuk mengadilinya karena bukan merupakan wilayah yurisdiksinya.
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan melihat semakin maraknya kasus pelanggaran terhadap anak-anak yang dilakukan oleh banyak oknum maka memberikan sebuah dorongan untuk mengesahkan Undangundang ini. Dalam kaitannya dengan Undang-Undang di sebutkan bahwa anak tidak boleh di ikut sertakan dalam berbagai kegiatan politik misalkan kampanye, kerusuhan sosial, sengketa bersenjata, dan lain sebagainya. Namun, anak-anak harus di jaga, di lindungi, dan di sayangi. Selain itu, dalam Undang-undang ini mengatur juga mengenaik larangan anak untuk di libatkan dalam berbagai kegiatan orang dewasa.
4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dengan adanya dorongan dari pegiat atau aktuvis wanita yang menyuarakan pendapatnya selama ini tentang pembedaan antara hak atas kaum perempuan terhadap hak kaum laki-laki. Maka Undang-undang ini di sahkan. Korban kekerasan memiliki hak untuk memperoleh jaminan untuk mendapatkan perlindungan dari relawan, tenaga medis atau tenaga kesehatan, para pekerja sosial, dan para pendamping atau pembimbing rohani. Adapun Undang-Undang ini memliki kelebihan yaitu bahwa perlindungan terhadap korban kekerasan rumah tangga di perbolehkan mendapatkan petolongan dari masyarakat selain dibebankan kepada polisi atau pihak yang berwajib.