Mohon tunggu...
Nur Nazhifah
Nur Nazhifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - part of society

Ruang opini mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Verifikasi Informasi melalui Mekanisme Berpikir Sistemik sebagai Usaha Melawan Fenomena Hoaks di Media Sosial

14 Juni 2021   20:29 Diperbarui: 14 Juni 2021   20:51 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Fenomena hoax melalui media sosial di Indonesia menjadi krusial akhir-akhir ini. Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada tahun 2017 melakukan survei tentang "Wabah Hoax" yang hasilnya menyebutkan bahwa saluran yang paling banyak digunakan dalam penyebaran hoax adalah media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, Path) yang mencapai  92,40  persen,  disusul  oleh aplikasi chatting (Whatsapp, Line, Telegram) sebanyak  62,80  persen dan melalui situs web sebanyak 34,90 persen. Menurut data dari Kominfo, sejak Agustus 2018 hinga Maret 2020 telah diidentifikasi sebaran hoax mencapai 5.156 kasus. Setelah diverifikasi dan divalidasi oleh Tim AIS Kemekominfo, hoax kategori politik mendominasi di angka 1.025 kasus hoax. Disusul 210 hoax kategori pemerintahan, 922 hoax kategori kesehatan, 853 hoax terkait fitnah, 411 hoax terkait kejahatan dan sisanya hoax terkait isu agama, bencana alam, mitos, internasional dan isu lainnya.

            Dalam penelitian yang dilakukan oleh Budi Gunawan, Ph.D. dan Barito Mulyo Ratmono, Ph.D. (difasilitasi Sekolah Tinggi Intelijen Negara,) dengan judul "Social Media, Cyberhoaxes and National Security: Threats and Protection in Indonesian Cyberspace" diuraikan tokoh, peran, serta kepentingan yang melatarbelakangi sebaran cyberhoax di Indonesia. Setelah mengkaji bagaimana cyberhoax berkembang, didapatkan hasil bahwa cyberhoax merupakan kegiatan terorganisir yang dilakukan oknum untuk mendapatkan bayaran dari klien yang meminta mereka memproduksi dan menyebarkan hoax. Tentunya dengan motif beragam. Oknum yang menawarkan jasa cyberhoax di Indonesia ternyata cukup banyak.

         Masifnya penyebaran hoax tentu membuat resah seluruh elemen masyarakat. Karena hoax tidak mengenal waktu dan tempat, bahkan siapapun dapat menjadi korban informasi hoax yang beredar. Walaupun pemerintah telah menegaskan kebijakan yang mengatur hoax melalui UU ITE, disinformasi dan misinformasi tetap tidak dapat dimatikan begitu saja. Saat ini juga telah dikembangan gerakan anti-hoax yang memanfaatkan teknologi seperti hoax analyzer oleh ITB, AppsMU oleh Muhammadiyah, broadcast informasi hoax oleh Line Today dan situs web turnbackhoax.id yang mengkampanyekan anti-hoax secara konsisten.

            Melalui salah satu cabang filsafat yang mengajarkan mekanisme berpikir sistemik, seseorang dapat melawan hoax secara mandiri. Perlunya belajar dan menguasai ilmu berpikir sistemik dimaksudkan agar dapat menganalisis setiap masalah dalam penugasan secara ilmiah, tepat guna, dan berhasil guna (efektif dan efisien). Dengan berpikir sistemik, akan timbul kemampuan melihat setiap masalah secara struktural, mampu melihat dan menemukan akar masalah secara objektif dan akurat. Berpikir sistemik akan membawa seseorang melakukan verifikasi terhadap suatu informasi yang diterima. Selanjutnya, hasil verifikasi akan membuahkan kebenaran yang tentunya dapat menghindarkan diri dari informasi hoax.

            Saat ini, kehidupan masusia dipercaya berada di era post-truth. Istilah post-truth digunakan untuk menjelaskan era hari ini yang marak dengan kebohongan yang dipercaya sebagai suatu kebenaran. Alasan mengapa disinformasi beredar secara lebih luas di masyarakat kini bukan disebabkan oleh pandangan orang yang bergeser dalam memaknai "kebenaran", melainkan karena cara informasi diproduksi, disebarkan, dan dikonsumsi tengah berubah drastis. Informasi yang tadinya disebarkan melalui satu pintu oleh media massa dan pers, kini disebarkan secara jauh lebih bebas dan cepat di media baru yang dinamakan media sosial.

            Kebenaran berdasarkan teori korespondensi bermakna suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pertanyaan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Objek yang dimaksud haruslah bersifat faktual. Teori korespondensi ini dipergunakan dalam cara berpikir ilmiah (Jujun S Suriasumantri, 2003: 57 ). Teori korespondensi menyatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran dan kenyataan teori. Adapun moto teori ini adalah "truth is fidelity to objective reality" (kebenaran setia/tunduk pada realitas objektif). Implikasi dari teori ini ialah hakikat pencarian kebenaran ilmiah, bermuara kepada usaha yang sungguh-sungguh untuk mencari relasi yang senantiasa konsisten (Suaedi, 2016: 44).

            Dalam Suaedi (2016: 48) logika berasal dari logos, artinya pikiran atau dengan kata lain yang mempelajari pikiran dalam bentuk bahasa. Secara etimologis, logika adalah ilmu yang mempelajari pikiran dalam bentu bahasa. Berpikir adalah proses atau kegiatan jiwa untuk mencapai pengetahuan. Berpikir merupakan serangkaian kegiatan dari budi rohani seseorang yang menciptakan pengertian, melakukan penalaran, dan mengolah ingatan berdasarkan pengalaman terdahulu sebagai tanggapan terhadap keadaan sekeliling. Berpikir dapat membuahkan beberapa hasil-hasil pemikiran baik atau rumusan solusi dari suatu permasalahan.

               John Broadman dan Brian Sauser menjelaskan "The Interconnected age we live in now demands a new form of thinking that deals with systems as parts and that calls for systemic thinking, a huge part of which is the skill to build maps of these worlds of systems." diartikan dengan "Zaman yang saling berhubungan di mana kita hidup sekarang menuntut bentuk pemikiran baru yang berhubungan dengan sistem sebagai bagian dan membutuhkan pemikiran sistemik, sebagian besar di antaranya adalah keterampilan untuk membangun peta dunia sistem ini". Berpikir sistemik adalah sebuah cara untuk memahami sistem yang kompleks dengan menganalisis bagian-bagian sistem tersebut untuk mengetahui pola hubungan yang terdapat di dalam setiap unsur atau elemen penyusun sistem. Pada prinsipnya, berpikir sistemik mengombinasikan dua kemampuan berpikir, yaitu kemampuan berpikir analitis (kemampuan mengurai elemen-elemen suatu masalah) dan berpikir sintesis (memadukan elemen-elemen tersebut menjadi suatu kesatuan).

            Berikut dijelaskan cara melakukan verifikasi informasi melalui mekanisme berpikir sistemik:

  • Menerapkan berpikir analitis pada sebuah informasi yang diterima dengan menguraikan informasi menggunakan metode 5W+H:
  • (Who) Siapa yang menjadi subjek/objek dalam informasi tersebut?
  • (What) Apa permasalahan yang dihadapi subjek atau objek dalam informasi tersebut atau latar belakang apa yang mebuat informasi tersebut muncul?
  • (When) Kapan peristiwa yang ada dalam informasi tersebut terjadi atau kapan informasi tersebut ditemukan?
  • (Where) Di mana lokasi peristiwa yang ada dalam informasi tersebut terjadi?
  • (Why) Mengapa peristiwa yang ada dalam informasi tersebut dapat terjadi?
  • (How) Bagaimana proses terjadinya peristiwa yang ada dalam informasi tersebut?
  • Melakukan sinkronisasi antara data dari sumber yang kredibel dengan informasi yang didapatkan.
  • Menggaris bawahi pernyataan yang sifatnya fakta, kemudian melingkari pernyataan yang tidak sesuai data (dapat dilakukan sebaliknya) untuk membedakan keduanya.
  • Menerapkan berpikir sintesis untuk mendapatkan kebenaran dengan menggabungkan seluruh elemen yang telah ditemukan.
  • Menetapkan kesimpulan mengenai apakah informasi tersebut hoax atau fakta berdasarkan temuan-temuan yang telah diperoleh sebelumnya.

            Setelah mendapatkan kesimpulan mengenai akurasi informasi yang diperoleh, hal yang dapat dilakukan selanjutnya adalah mengambil langkah. Apabila informasi tersebut tidak akurat dan berupa hoax, seseorang dapat memutuskan rantai penyebaran informasi tersebut tentunya dengan tidak ikut menyebarkan kembali. Langkah seterusnya, ialah membuat tulisan atau pernyataan yang membuktikan informasi tersebut mengandung hoax. Langkah ini dilakukan agar tidak ada orang lain yang terjerumus ke dalam informasi hoax tersebut. Dengan melampirkan bukti dan hasil analisis yang telah ditemukan, maka akan menjadi senjata yang ampuh untuk melawan dan memerangi hoax di media sosial.

Kesimpulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun