Mohon tunggu...
NURMALA SARI
NURMALA SARI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa, Program studi Kedokteran, Fakultas Ilmu Kesehatan, Kedokteran, Dan Ilmu Alam (FIKKIA Banyuwangi) Universitas Airlangga

Hobi menonton film

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tuntunan Ringan: Tantangan Dan Masa Depan "Pemberantasan Korupsi Di Indonesia"

3 Januari 2025   23:33 Diperbarui: 3 Januari 2025   23:33 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

        Salah satu hasil utama dari penelitian ini adalah adanya kecenderungan tuntutan ringan terhadap pelaku korupsi, yang seringkali tidak mencerminkan beratnya tindak pidana yang dilakukan. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), pada tahun 2023, rata-rata hukuman bagi terdakwa kasus korupsi hanya sekitar tiga tahun empat bulan, dengan sebagian besar vonis berada di bawah empat tahun. Angka ini menunjukkan adanya penurunan kepercayaan publik terhadap sistem hukum, karena banyak yang merasa bahwa hukum tidak ditegakkan secara adil dan pelaku korupsi tidak mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan (Srimin Pinem, dkk. 2023).

       Angka vonis yang rendah ini menjadi tanda bahwa proses penuntutan dalam kasus korupsi sering kali tidak optimal. Tidak hanya berkaitan dengan ketidaksetaraan hukuman, tetapi juga dengan lemahnya tuntutan yang diajukan oleh jaksa. Dalam beberapa kasus, tuntutan yang lemah ini lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti intervensi politik atau tekanan dari pihak-pihak tertentu yang ingin mengurangi dampak hukum bagi pelaku korupsi. Hal ini menciptakan ketidakadilan yang semakin memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, karena publik merasa bahwa para pelaku yang merugikan negara justru mendapatkan perlakuan istimewa. Fenomena tuntutan ringan ini tidak hanya berakibat pada ketidakpercayaan publik terhadap sistem peradilan, tetapi juga memberikan dampak jangka panjang terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat mulai kehilangan harapan bahwa hukum dapat menegakkan keadilan secara adil, dan pelaku korupsi semakin merasa tidak takut untuk melakukan tindak pidana yang sama. Oleh karena itu, untuk mengembalikan kepercayaan publik dan mendorong penegakan hukum yang lebih tegas, reformasi dalam sistem hukum dan penguatan lembaga penegak hukum menjadi sangat penting.

 

Pengaruh Tuntutan Ringan Terhadap Efek Jera. 

         Salah satu tujuan utama dari sistem peradilan pidana adalah memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Namun, tuntutan ringan yang sering dijatuhkan pada pelaku korupsi justru berpotensi melemahkan efek jera. Berdasarkan penelitian Aji Prasetyo (2020), pada tahun 2019, dari 1.125 terdakwa, hanya enam yang dituntut dengan hukuman berat, sementara 604 terdakwa lainnya menerima tuntutan ringan. Hal ini menciptakan insentif bagi pelaku korupsi untuk terus melakukan tindakan serupa tanpa merasa takut akan dijatuhi hukuman berat (Warih, Anjari, 2022).

        Ketika tuntutan terhadap pelaku korupsi tidak mencerminkan seberapa besar kerugian yang ditimbulkan, maka potensi efek jera pun hilang. Pelaku korupsi, baik itu pejabat publik maupun individu lainnya, mungkin akan merasa bahwa mereka masih bisa menghindari hukuman berat meskipun telah merugikan negara atau masyarakat. Hal ini menciptakan insentif yang salah, di mana mereka tidak merasa takut untuk melakukan tindakan serupa karena yakin bahwa sanksi yang diberikan tidak akan terlalu berat. Sebagai contoh, jika seorang pejabat yang terlibat dalam korupsi besar hanya menerima hukuman ringan, maka pesan yang tersampaikan adalah bahwa korupsi masih dapat dilakukan tanpa risiko besar. Seiring berjalannya waktu, fenomena ini akan memperburuk keadaan dan merugikan upaya pemberantasan korupsi yang sedang dijalankan oleh negara. Selain itu, dilema ini memperburuk siklus korupsi di Indonesia, di mana pelaku baru merasa bahwa tindakan serupa adalah sesuatu yang dapat dilakukan tanpa risiko serius. Dalam studi Warih dan Anjari (2022), disebutkan bahwa tuntutan ringan dapat menciptakan lingkungan di mana para pelaku korupsi merasa didorong untuk melanjutkan perilaku tersebut. Masyarakat yang melihat banyaknya kasus korupsi dengan hukuman ringan akan semakin menurunkan kepercayaan mereka terhadap integritas sistem hukum dan penegakannya. Oleh karena itu, untuk menciptakan efek jera yang sesungguhnya, sangat penting untuk meningkatkan ketegasan dalam penuntutan dan menjatuhkan hukuman yang proporsional dengan kerugian yang ditimbulkan oleh korupsi. Tanpa adanya perubahan yang signifikan dalam hal ini, pemberantasan korupsi akan terus menemui jalan buntu.

 

Faktor Penyebab Tuntutan Ringan

        Tuntutan ringan terhadap pelaku korupsi tidak terlepas dari sejumlah faktor yang mempengaruhi proses hukum di Indonesia. Salah satunya adalah intervensi politik, di mana pihak-pihak tertentu sering kali memberikan tekanan pada lembaga penegak hukum untuk memberikan tuntutan yang lebih ringan kepada pelaku korupsi. Selain itu, lemahnya kapasitas lembaga penegak hukum juga turut berkontribusi pada penuntutan yang lemah (Jamin, Ginting).

        Tekanan tersebut sering kali mengarah pada upaya untuk memperingan tuntutan terhadap pelaku korupsi, yang bisa mengurangi potensi hukuman yang seharusnya dijatuhkan. Dalam beberapa kasus, ketidakterlibatan pihak-pihak yang memiliki kekuatan politik ini dalam proses hukum, atau bahkan pengaruh mereka yang besar terhadap lembaga penegak hukum, dapat memperlemah komitmen terhadap pemberantasan korupsi, sehingga memperburuk penegakan hukum di Indonesia. Selain intervensi politik, lemahnya kapasitas lembaga penegak hukum juga turut berkontribusi pada penuntutan yang lemah dalam kasus-kasus korupsi. Banyak lembaga penegak hukum yang masih memiliki keterbatasan dalam hal sumber daya manusia, keterampilan, serta pemahaman yang memadai tentang kompleksitas kasus korupsi. Keterbatasan ini berdampak pada kemampuan untuk menyelidiki, mengumpulkan bukti, serta memberikan tuntutan yang tepat. Selain itu, terdapat juga masalah dalam hal independensi dan objektivitas lembaga-lembaga ini, yang dapat mempengaruhi kualitas proses penuntutan. Dalam banyak kasus, lemahnya kapasitas ini dapat mengarah pada keputusan-keputusan yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat dan yang tidak cukup memberi efek jera terhadap pelaku kejahatan. Faktor lain yang mempengaruhi tuntutan ringan terhadap pelaku korupsi adalah ketidakmampuan lembaga hukum dalam mengatasi tekanan yang datang dari berbagai pihak. Tekanan ini bisa datang tidak hanya dari politisi atau pejabat tinggi, tetapi juga dari kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan ekonomi dalam kelangsungan praktik korupsi tersebut. Ketidakmampuan lembaga penegak hukum untuk bekerja secara independen dan tidak terpengaruh oleh kekuatan luar ini menyebabkan banyak kasus korupsi yang tidak mendapat penanganan yang layak dan justru berakhir dengan tuntutan yang rendah. Kelemahan dalam pengawasan dan akuntabilitas terhadap kinerja lembaga penegak hukum juga memperburuk keadaan, karena tidak ada sistem yang efektif untuk memastikan bahwa tuntutan yang diajukan sesuai dengan prinsip keadilan dan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, reformasi dalam sistem penegakan hukum yang mengarah pada peningkatan kapasitas lembaga penegak hukum dan penguatan independensi mereka sangat diperlukan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun