Mohon tunggu...
Nurmalasari
Nurmalasari Mohon Tunggu... Konsultan - Public Health Specialist

Passionate in Youth4Health & Mental Health | SDGs, Social Network, & Indigenous Enthusiasts

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dermaga Airmata: Time Lapse Story Kepulangan Pencerah Nusantara

14 September 2017   15:06 Diperbarui: 17 September 2018   13:45 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat perpisahan dengan Masyarakat Mentawai di Dermaga Sikakap|Dokumentasi pribadi

090915 - Dini Hari

Tepat pukul 2 malam sepertinya aktivitas packing-packing barang dihentikan sudah. Meskipun masih terlihat setumpuk berserakan sana sini yang belum terpacking dengan baik. Kami sudah tak memusingkan jika pun barang-barang tersebut ada yang tertinggal, karena nyatanya hati kami sudah jauh lebih lama tertinggal di Mentawai.

Dinginnya malam pun nyatanya tak mampu meredam gemuruh panas dada kami. Isak tangis pun memecah kesunyian malam.Tak apa. Kami berfikir itu tak masalah asalkan tepat tanggal 090915  pukul 08.00 WIB, sesuai jadwal keberangkatan kapal, wajah kami tak lagi dirundung mendung. Kami ingin pulang diiringi cahaya matahari yang kian terik dengan senyuman masyarakat. Bukan mendung di wajah yang berlanjut hujan air mata.

Biarkan kami seperti ini. Menyelesaikan apa  yang harus kami selesaikan dengan hati kami yang sudah terlampaui jatuh dengan cintanya Mentawai.

090915 - Pagi

Semua koper sudah satu per satu diturunkan ke Ambulance Puskesmas, kendaraan yang akan membawa kami menuju Dermaga Sikakap. Rumah PN, begitu akrab disapa, sudah mulai kosong. Bau kami seakan mulai memudar. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat.

Salah seorang gadis mungil yang memakai jaket biru bertuliskan Pencerah Nusantara terlihat lari tergesa-gesa menuju satu rumah, menggedor-gedor pintunya, hingga saat pintu itu terbuka, tangisan gadis ini tak pelak membangunkan seorang laki-laki berusia 28 tahun.

"Bang, adek gak mau pulang. Adek gak mau pulang." Teriak gadis itu di sela tangisannya, yang tak lama kemudian tenggelam dalam pelukan abang angkatnya tersebut. Pemandangan itu pun tak pelak membuat yang melihat menitikkan air mata.

"Sudah jangan menangis. Sudah gedhe. Gak boleh menangis. Sana segera  berangkat nanti ditinggal kawan-kawanmu dan kapal nanti. Abang akan ke  dermaga nanti mengantarmu dek". Terang abangnya yang mencoba menenangkan isak tangis gadis tersebut.

Pun ini hanya salah satu pemandangan saja. Masih ada 4 pemandangan lain yang serupa.

090915 - Pukul 07.00 WIB

Barang satu persatu diloading ke bagasi kapal. Saat itu suasana masih  terkendali. Mentari mulai bersinar dengan indah dari balik Pulau Tugu Benoang. Kapal Kayu itu, bahtera yang akan mengantarkan kepulangan kami, bertengger indah di bibir dermaga. Jangkar masih terkait. Kami merasa lega.

Setidaknya jangan dulu  dilepaskan. Karena hati kami masih dalam proses mencerna ini semua. Kami berlima berdoa semoga waktu satu jam sebelum jangkar dilepas bisa kita lalui dengan senyuman hangat penuh kasih sayang.

090915 - Pukul 07.30 WIB

Nyatanya, sinar mentari tak bertahan lama. Dia berbohong. Tiba-tiba semua tertutup dengan mendungnya wajah orang-orang yang mengantarkan kami di dermaga. Kami masih bertahan. Bertahan sedikit lagi. Untuk tetap menyunggingkan senyuman. Hingga saat satu-satu persatu dari kami dipeluk oleh keluarga angkat kami masing-masing.

Ya, rintik air mata pun nyatanya mampu memecah pertahanan kami semua. Hujan air mata tak elakkan terjadi. Kami tak mampu berbicara. Kami hanya berusaha menumpahkan rasa sayang kami kepada bumi sikerei ini lewat tangisan yang membisu.

Pedih? Iya
Sakit? Jelas

Dan tiba-tiba kami melihat banyak orang berkumpul di dekat kami. Pemandangan penuh sesak ini biasanya kami benci. Namun saat ini biarlah seperti ini. Setidaknya sedetik beberapa detik kami bisa melihat satu per satu wajah masyarakat Mentawai, wajah yang selama 365 hari membersamai kami semua dengan kehangatan luhurnya.

090915 - Pukul 08.00 WIB

Sirine kapal mulai berbunyi. Tanda jangkar harus dilepas. Jelas, ini tanda kami sudah harus menyudahi 365 hari kami di Mentawai. "Gak mau pulang. Masih mau disini", begitulah teriak kami saat kapal sudah membawa kami cm demi cm meninggal tanah Mentawai.

Kami mencoba berlari di setiap inci kapal menemukan celah untuk bisa  menatap masyarakat yang tangannya melambai lambai ke arah kami. Tangisan kami semakin keras saat pesan itu masuk ke salah satu handphone kami,"Tidak. Kalian tidak meninggalkan kami. Kami percaya kalian akan selalu  hidup bersama kami, dalam nafas perilaku sehat kami, Masyarakat  Mentawai."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun