Mohon tunggu...
Nurmala Hidayatullah
Nurmala Hidayatullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi saya yaitu, membaca, menonton, healing

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkembangan Psikososial dari Masa Bayi hingga Dewasa Akhir

28 Oktober 2024   09:30 Diperbarui: 28 Oktober 2024   09:36 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi Erikson (1958, 1963), krisis-krisis ini bersifat psikososial karena melibatkan kebutuhan psikologis individu (yaitu psiko) yang bertentangan dengan kebutuhan masyarakat (yaitu sosial).

Menurut teori tersebut, penyelesaian yang berhasil dari setiap tahap akan menghasilkan kepribadian yang sehat dan perolehan nilai-nilai dasar. Nilai-nilai dasar adalah kekuatan karakteristik yang dapat digunakan ego untuk menyelesaikan krisis berikutnya.

Kegagalan menyelesaikan satu tahap dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan untuk menyelesaikan tahap selanjutnya dan, oleh karena itu, kepribadian dan rasa percaya diri yang lebih tidak sehat. Namun, tahap-tahap ini dapat diatasi dengan sukses di kemudian hari.

Erikson berpendapat bahwa kepribadian berkembang dalam urutan yang telah ditentukan melalui delapan tahap perkembangan psikososial, dari masa bayi hingga dewasa. Selama setiap tahap, seseorang mengalami krisis psikososial yang dapat memengaruhi perkembangan kepribadian secara positif atau negatif.

Teori Erikson menguraikan 8 tahap perkembangan psikososial dari masa bayi hingga dewasa akhir. Pada setiap tahap, individu menghadapi konflik antara dua keadaan yang berlawanan yang membentuk kepribadian. Penyelesaian konflik yang berhasil menghasilkan nilai-nilai seperti harapan, kemauan, tujuan, dan integritas. Kegagalan menghasilkan hasil seperti ketidakpercayaan, rasa bersalah, kebingungan peran, dan keputusasaan.

Tahap 1. Kepercayaan vs. Ketidakpercayaan

Kepercayaan vs. ketidakpercayaan merupakan tahap pertama dalam teori perkembangan psikososial Erik Erikson. Tahap ini dimulai sejak lahir dan berlanjut hingga usia sekitar 18 bulan. Selama tahap ini, bayi tidak yakin dengan dunia tempat tinggalnya, dan mencari pengasuh utamanya untuk mendapatkan stabilitas dan konsistensi perawatan.

Berikut konfliknya:

Kepercayaan : Bila pengasuhnya dapat diandalkan, konsisten, dan penuh perhatian, anak akan mengembangkan rasa percaya, meyakini bahwa dunia ini aman dan bahwa orang-orang dapat diandalkan dan penuh kasih sayang.

Rasa percaya ini membuat anak merasa aman bahkan saat terancam dan berlanjut ke hubungan-hubungan lainnya, sehingga menjaga rasa aman mereka di tengah potensi ancaman.

Ketidakpercayaan : Sebaliknya, jika pengasuh gagal memberikan perawatan dan kasih sayang yang konsisten dan memadai, anak dapat mengembangkan rasa ketidakpercayaan dan ketidakamanan. Hal ini dapat mengarah pada keyakinan terhadap dunia yang tidak konsisten dan tidak dapat diprediksi, sehingga menumbuhkan rasa tidak percaya, curiga, dan cemas.

Dalam situasi seperti itu, anak mungkin kurang percaya diri terhadap kemampuannya memengaruhi kejadian, dan memandang dunia dengan rasa khawatir.

Tahap 2. Otonomi vs. Rasa Malu dan Keraguan

Otonomi versus rasa malu dan ragu merupakan tahap kedua dari tahapan perkembangan psikososial Erik Erikson. Tahap ini terjadi antara usia 18 bulan hingga sekitar 3 tahun. Menurut Erikson, anak-anak pada tahap ini difokuskan pada pengembangan rasa kendali pribadi atas

 keterampilan fisik dan rasa kemandirian.

Berikut konfliknya:

Otonomi : Jika didorong dan didukung dalam peningkatan kemandirian mereka, anak-anak akan menjadi lebih percaya diri dan aman dalam kemampuan mereka untuk bertahan hidup.

Mereka akan merasa nyaman dalam mengambil keputusan, menjelajahi lingkungan sekitar dengan lebih bebas, dan memiliki rasa pengendalian diri. Mencapai otonomi ini membantu mereka merasa mampu dan mampu menjalani hidup mereka.

Malu dan Ragu : Di sisi lain, jika anak-anak terlalu dikontrol atau dikritik, mereka mungkin mulai merasa malu dengan otonomi mereka dan meragukan kemampuan mereka.

Hal ini dapat menyebabkan kurangnya kepercayaan diri, takut mencoba hal baru, dan perasaan tidak mampu mengendalikan diri.

Tahap 3. Inisiatif vs. Rasa Bersalah

Inisiatif versus rasa bersalah merupakan tahap ketiga dari teori perkembangan psikososial Erik Erikson. Selama tahap inisiatif versus rasa bersalah, anak-anak lebih sering menegaskan diri mereka sendiri melalui pengarahan permainan dan interaksi sosial lainnya.

Berikut konfliknya:

Inisiatif : Ketika pengasuh mendorong dan mendukung anak untuk mengambil inisiatif, mereka dapat mulai merencanakan kegiatan, menyelesaikan tugas, dan menghadapi tantangan.

Anak-anak akan belajar mengambil inisiatif dan memegang kendali atas lingkungannya.

Mereka dapat mulai berpikir sendiri, merumuskan rencana, dan melaksanakannya, yang membantu menumbuhkan rasa memiliki tujuan.

Rasa bersalah : Jika pengasuh menghambat pengejaran aktivitas mandiri atau mengabaikan atau mengkritik upaya mereka, anak mungkin merasa bersalah tentang keinginan dan inisiatif mereka.

Hal ini berpotensi menimbulkan perasaan bersalah, meragukan diri sendiri, dan kurangnya inisiatif.

Tahap 4. Industri vs. Inferioritas

Krisis psikososial keempat Erikson, yang melibatkan ketekunan (kompetensi) vs. Inferioritas terjadi selama masa kanak-kanak antara usia lima dan dua belas tahun. Pada tahap ini, anak-anak mulai membandingkan diri mereka dengan teman sebayanya untuk mengukur kemampuan dan harga diri mereka.

Berikut konfliknya:

Industri : Jika anak-anak didorong oleh orang tua dan guru untuk mengembangkan keterampilan, mereka memperoleh rasa industri---perasaan kompeten dan percaya pada keterampilan mereka.

Mereka mulai belajar bekerja dan bekerja sama dengan orang lain dan mulai memahami bahwa mereka dapat menggunakan keterampilan mereka untuk menyelesaikan tugas. Hal ini menumbuhkan rasa percaya diri terhadap kemampuan mereka untuk mencapai tujuan.

Rasa Rendah Diri : Di sisi lain, jika anak menerima umpan balik negatif atau tidak diizinkan menunjukkan keterampilannya, mereka mungkin mengembangkan rasa rendah diri.

Mereka mungkin mulai merasa bahwa mereka tidak sebaik teman sebayanya atau bahwa usaha mereka tidak dihargai, yang menyebabkan kurangnya kepercayaan diri dan perasaan tidak mampu. 

Tahap 5. Identitas vs. Kebingungan Peran

Tahap kelima dari teori perkembangan psikososial Erik Erikson adalah identitas vs. kebingungan peran, dan terjadi selama masa remaja, sekitar usia 12-18 tahun. Selama tahap ini, remaja mencari jati diri dan identitas pribadi, melalui eksplorasi yang intens terhadap nilai-nilai, keyakinan, dan tujuan pribadi.

Berikut konfliknya:

Identitas : Jika remaja didukung dalam eksplorasi mereka dan diberi kebebasan untuk mengeksplorasi peran yang berbeda, mereka cenderung keluar dari tahap ini dengan rasa diri yang kuat dan perasaan mandiri serta terkendali.

Proses ini melibatkan eksplorasi minat, nilai, dan tujuan mereka, yang membantu mereka membentuk identitas unik mereka sendiri.

Kebingungan Peran : Jika remaja dibatasi dan tidak diberi ruang untuk mengeksplorasi atau merasa prosesnya terlalu membebani atau menyusahkan, mereka mungkin mengalami kebingungan peran.

Ini bisa berarti merasa tidak yakin tentang posisi seseorang di dunia, nilai-nilai, dan arah masa depan. Mereka mungkin kesulitan mengidentifikasi tujuan atau jalan mereka, yang menyebabkan kebingungan tentang identitas pribadi mereka.

Tahap 6. Keintiman vs. Isolasi

Keintiman versus isolasi merupakan tahap keenam dari teori perkembangan psikososial Erik Erikson. Tahap ini berlangsung selama masa dewasa muda antara usia sekitar 18 hingga 40 tahun. Selama tahap ini, konflik utama berpusat pada pembentukan hubungan yang intim dan penuh kasih dengan orang lain.

Berikut konfliknya:

Keintiman : Individu yang berhasil melewati tahap ini mampu membentuk hubungan intim dan timbal balik dengan orang lain.

Mereka dapat menjalin ikatan yang erat dan merasa nyaman dengan saling ketergantungan. Keintiman melibatkan kemampuan untuk bersikap terbuka dan berbagi diri dengan orang lain, serta kemauan untuk berkomitmen pada hubungan dan melakukan pengorbanan pribadi demi hubungan tersebut.

Isolasi : Jika individu kesulitan membentuk hubungan dekat, mungkin karena krisis identitas yang belum terselesaikan sebelumnya atau takut penolakan, mereka mungkin mengalami isolasi.

Isolasi mengacu pada ketidakmampuan untuk menjalin hubungan yang bermakna dan intim dengan orang lain. Hal ini dapat menyebabkan perasaan kesepian, keterasingan, dan pengucilan. 

Tahap 7. Generativitas vs. Stagnasi

Generativitas versus stagnasi merupakan tahap ketujuh dari delapan tahap teori perkembangan psikososial Erik Erikson. Tahap ini berlangsung selama masa dewasa pertengahan (usia 40 hingga 65 tahun). Selama tahap ini, individu lebih fokus membangun kehidupan, terutama melalui karier, keluarga, dan kontribusi terhadap masyarakat.

Berikut konfliknya:

Generativitas : Jika individu merasa bahwa mereka memberikan kontribusi yang berharga bagi dunia, misalnya, melalui membesarkan anak-anak atau berkontribusi terhadap perubahan positif dalam masyarakat, mereka akan merasakan generativitas.

Generativitas melibatkan kepedulian terhadap orang lain dan keinginan untuk berkontribusi bagi generasi mendatang, sering kali melalui peran sebagai orang tua, pembimbing, pemimpin, atau hasil karya kreatif yang memberikan nilai tambah bagi masyarakat.

Stagnasi : Jika individu merasa tidak memberikan dampak positif atau tidak terlibat dalam tugas-tugas produktif atau kreatif, mereka mungkin mengalami stagnasi.

Stagnasi melibatkan perasaan tidak produktif dan tidak terlibat, yang mengarah pada penyerapan diri, kurangnya pertumbuhan, dan perasaan hampa.

Tahap 8. Integritas Ego vs. Keputusasaan

Integritas ego versus keputusasaan adalah tahap kedelapan dan terakhir dari teori tahapan perkembangan psikososial Erik Erikson. Tahap ini dimulai pada usia sekitar 65 tahun dan berakhir saat kematian. Selama masa inilah kita merenungkan pencapaian kita dan dapat mengembangkan integritas jika kita melihat diri kita menjalani kehidupan yang sukses.

 Berikut konfliknya:

Integritas Ego : Jika individu merasa telah menjalani kehidupan yang memuaskan dan bermakna, mereka akan mengalami integritas ego.

Hal ini dicirikan oleh rasa penerimaan terhadap kehidupan mereka sebagaimana adanya, kemampuan untuk menemukan koherensi dan tujuan dalam pengalaman mereka, serta rasa kebijaksanaan dan kepuasan.

Keputusasaan : Di sisi lain, jika individu merasa menyesal tentang masa lalunya, merasa telah membuat keputusan yang buruk, atau yakin telah gagal mencapai tujuan hidupnya, mereka mungkin mengalami keputusasaan.

Keputusasaan melibatkan perasaan menyesal, pahit, dan kecewa terhadap kehidupan seseorang, serta ketakutan terhadap kematian yang mendekat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun