Mohon tunggu...
Healthy

Gangguan Sadisme Seksual

24 Januari 2016   14:52 Diperbarui: 24 Januari 2016   15:22 2197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Seksual merupakan hal yang bersifat sangat pribadi dalam kehidupan individu. Kebutuhan seksual pada manusia sama halnya dengan kebutuhan makan yang selalu menuntut untuk dipenuhi. Pada dasarnya, seksual menjadi hal yang normal bagi setiap individu, namun dalam mencapai kepuasan seksualnya, terkadang manusia mempunyai cara yang berbeda dan bahkan dilakukan dengan cara yang menyimpang. Penyimpangan seksual termasuk bentuk perbuatan menyimpang dan melanggar norma dalam kehidupan masyarakat, dimana aktivitas seksual individu dalam mendapatkan kenikmatan seksual tersebut diperoleh secara tidak wajar.

Salah satu  penyimpangan seksual yang akan dibahas dalam artikel ini adalah sexual sadism disorder atau yang biasa disebut dengan gangguan sadisme seksual.  Sebuah gangguan seksual dimana kenikmatan seksualnya diperoleh dengan cara menyakiti pasangan.

Tujuan dalam penulisan artikel mengenai gangguan ini adalah agar masyarakat lebih mengenal apa itu gangguan sadisme seksual, bagaimana ciri atau kriteria gangguan, bagaimana perspektif biopsikososiokultural terhadap gangguan, serta prevensi primer, sekunder dan tersier yang dapat dilakukan untuk gangguan sadisme seksual ini.

Apa itu gangguan sadisme seksual?

Gangguan sadisme seksual adalah salah satu jenis dari Paraphilia. Dalam DSM-IV-TR, Parafilia merupakan sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Gangguan sadisme seksual adalah gangguan algolagnic tertentu dimana gairah seksual terjadi dari penderitaan fisik atau psikologis individu lain (The American Psychiatric Association, 2013).

Istilah sadisme seksual (sexual sadism) berasal dari nama Marquis de Sade (1740-1814), seorang bangsawan sekaligus tentara berkebangsaan Prancis pada abad ke-18 yang terkenal. Dalam tulisannya ia menggambarkan seorang tokoh yang memperoleh kepuasan seks dengan cara menyiksa pasangannya dengan kejam. Gangguan sadisme seksual mencapai stimulasi dan pemuasan seksual dengan menimbulkan penderitaan fisik atau psikis pada pasangan seksualnya. Seorang sadisme akan memperoleh kepuasan seksual melalui jeritan dan teriakan pasangannya yang menderita karena siksaan fisik yang dilakukannya selama berhubungan seksual.

Gangguan ini mulai muncul di masa dewasa awal. Disebutkan kriteria Sadisme dalam DSM IV TR yaitu berulang, intens, terjadi selama periode minimal 6 bulan, fantasi, dorongan, perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan tindakan (bukan fantasi) mempermalukan atau menyebabkan penderitaan fisik pada orang lain, menyebabkan distress pada orang yang bersangkutan dalam fungsi sosial atau pekerjaan atau orang tersebut bertindak berdasarkan dorongannya pada orang lain yang tidak menghendakinya.

Penyiksaan yang dilakukan penderita gangguan bisa secara fisik (penganiayaan seperti memukul, membakar, menendang, mencambuk, menggigit, mencakari, menusuk dengan benda tajam, juga berkeinginan untuk bisa mengencingi dan juga membuang air besar) bisa juga secara psikis (menghina, atau memaki-maki).

Penderitaan korban inilah yang membuatnya merasa bergairah dan puas. Intensitas perbuatan menyakiti tersebut bervariasi, mulai dari sekadar mengangan-angankannya sampai melakukan pemotongan bagian tubuh, bahkan sampai membunuhnya. Kadang-kadang, sadisme seksual membunuh dan memutilasi dan beberapa di antaranya termasuk pada penjahat seksual yang dipenjara karena menyiksa korbannya, yang sebagian besar adalah orang yang tidak dikenal pelaku (Dietz, Hazelwood, & Warren, 1990).

Gangguan sadisme seksual dapat terjadi dalam gangguan heteroseksual dan homoseksual. Biasanya, yang menjadi sasaran penderita adalah pelacur yang mau diperlakukan secara sadis, atau seorang penderita masokisme (masochism). Jika penderita gangguan sadisme seksual sumber kenikmatan seksualnya dengan menyiksa, maka penderita gangguan masokisme adalah sebaliknya, yaitu menjadikan penyiksaan yang diterimanya sebagai sumber kenikmatannya. Sehingga, mayoritas sadistis (sebutan bagi penderita gangguan sadisme seksual) menjalin hubungan dengan masokis (sebutan bagi penderita gangguan masokisme) untuk memperoleh kepuasan seksual secara timbal balik, yang dari hal tersebut muncullah istilah sadomasokisme, dimana aktivitas seksnya biasa disusun dalam sebuah cerita dengan berbagai aturan dan prosedur yang disepakati bersama.

Bagaimana Perspektif Biopsikososiokultural gangguan ini?

Adapun perspekif Biopsikososiokultural dari gangguan seksual sadisme adalah sebagai berikut;

1.  Biologis

Penelitian-penelitian yang mencoba menemukan adanya ketidaknormalan testoteron ataupun hormon-hormon lainnya sebagai penyebab, menunjukkan hasil tidak konsisten. Artinya, kecil kemungkinan disebabkan ketidaknormalan hormon seks pria atau hormon lainnya. Penyalahgunaan obat dan alkohol ditemukan sangat umum terjadi pada penderita. Obat-obatan tertentu tampaknya memungkinkan penderita melepaskan fantasi tanpa hambatan dari kesadaran.

2.  Psikologis

  • Dalam teori psikoanalitik, sadisme terkait dengan rasa takut pengebirian. Pada kasus-kasus lain, kepuasan seksual sudah dapat dicapai lewat tindakan-tindakan sadis itu sendiri tanpa adanya hubungan seksual.
  • Berdasarkan perspektif psikodinamika, kecemasan kastrasi yang tidak terselesaikan dari masa kanak-kanak yang menyebabkan rangsangan seksual dipindahkan pada objek atau aktivitas yang lebih aman. Orang sadisme biasanya memandang seks sebagai sesuatu yang penuh dosa sehingga dengan memberikan pukulan dan siksaan pada pasangan seksualnya, ia merasa dapat mengurangi dosa seksual.
  • Berdasarkan perspektif teori belajar, stimulus yang tidak biasa menjadi stimulus terkondisi untuk rangsangan seksual akibat pemasangannya dengan aktivitas seksual di masa lalu, serta stimulus yang tidak biasa dapat menjadi erotis dengan cara melibatkannya dalam fantasi erotis dan masturbasi. Selain itu memiliki pengalaman dimana rangsangan seksual dan orgasme diasosiasikan dengan tindakan menyakiti orang atau sasaran lain. Pemaparan seks yang prematur, atau traumatik, dalam bentuk penyiksan seksual masa anak-anak. Umumnya baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki devisiasi seksual ini memiliki trauma-trauma dalam kehidupannya sebelum menikah. Pada masa kanak-kanak sering mendapatkan hukuman fisik dalam pola asuh orang tuanya, kondisi tersebut menyebabkan perkembangan sikap kebencian, kemarahan, dan penolakan diri yang sangat intens yang membuat orang tersebut pada masa dewasanya memiliki kecenderungan untuk melampiaskan dendamnya pada masa lalunya tersebut.

3.  Sosiokultural

Pada umumnya, penderita sadisme adalah laki-laki. Hal ini sepertinya berkaitan dengan penyebab paraphilia yang meliputi pelampiasan dorongan agresif atau permusuhan, yang lebih mungkin terjadi pada pria daripada wanita. Seorang anak perempuan yang mendapat penyiksaan, mereka lebih sering terinhibisi secara seksual sedangkan anak laki-laki yang mendapat penyiksaan cenderung mewujudkan perilaku paraphilia salah satunya gangguan sadisme seksual.

Lingkungan keluarga dan budaya di mana seorang anak dibesarkan ikut memengaruhi kecenderungannya mengembangkan perilaku seks menyimpang. Anak yang orangtuanya sering menggunakan hukuman fisik dan terjadi kontak seksual yang agresif, lebih mungkin menjadi agresif dan impulsif secara seksual terhadap orang lain setelah mereka berkembang dewasa. Biasanya ada latar belakang dan umumnya mereka datang dari keluarga broken home, dalam hal ini bukan berarti keluarga yang berpisah karena perceraian saja, tetapi lebih pada visualisasi yang pernah ia saksikan pada keluarganya. Mungkin dia pernah melihat ibunya disiksa oleh ayahnya atau sebaliknya.

Perilaku sadisme seksual juga bisa menjadi bagian dari gambaran psikopatologi yang terkait dengan rendahnya kendali moral dan etika sosial. Adanya rasa ingin mencoba yang diakibat penyampaian informasi atau persepsi yang salah. misalnya anak yang mengenal pornografi sejak dini dan mendapat akses bebas akan cenderung menjadi antisosial, melakukan kekerasan dalam rumah tangga, tidak sensitif, memicu kelainan seksual, dan menimbulkan kecanduan pada situs game dan porno yang sarat dengan unsur kekerasan dan agresivitas yang memicu munculnya perilaku-perilaku agresif dan sadistis pada diri anak.

Perilaku sadisme seksual dapat dikarenakan terjadi represi parah misalnya anak laki-laki yang diajari bahwa seks merupakan hal yang tabu, kotor dan dihukum karena minatnya terhadap seks. Supresi berlebihan terhadap keingintahuan alami tentang seks, karena alasan religius atau alasan lain. Sikap negative terhadap seks atau ketakutan akan impotensi. Selain itu ada indikasi bahwa para pengidap sadis adalah orang-orang yang pemula-penakut, kurang jantan dan perkasa, dan kadang-kadang juga bersumber dari jenis gangguan psikis lain yang dialami oleh penderita seperti skizofrenia.

Terlepas dari gangguan yang mereka idap, mayoritas sadistis menjalani kehidupan normal, dan terdapat beberapa bukti bahwa mereka berpenghasilan dan memiliki latar pendidikan yang di atas rata-rata.

Prevensi apa yang dapat diberikan untuk gangguan ini?

Terdapat 3 jenis prevensi yang dapat diberikan terhadap gangguan seksual sadisme sebagai berikut;

a.  Prevensi Primer

Pencegahan Primer merupakan upaya untuk menghilangkan kemungkinan munculnya gangguan dan mengembangkan kesehatan mental yang positif. Pencegahan yang dapat dilakukan diantaranya;

  • Tidak melakukan aktivitas seksual yang menyimpang dengan makukan hal-hal positif agar penyaluran stres tidak merusak perilaku dan kebiasaan lainnya.
  • Memperkuatkan iman, bagaimanapun iman merupakan benteng terbaik sebagai pencegahan penyimpangan perilaku.
  • Self control dengan mengontrol dorongan rasa ingin tahu, mencoba atau pengaruh teman dengan penuh kesadaran dan pengetahuan akan dampak-dampak buruk dari perilaku tersebut.
  • Mengurangi atau tidak surfing atau melihat pornografi yang bebas bisa di dapat dari internet atau media lainnya, serta membiasakan hidup sehat untuk mengurang stres, termasuk olahraga teratur, nutrisi yang seimbang dan pengalaman spiritual dan religius.
  • Adanya usaha hukum seperti halnya yang dilakukan di Amerika yang dikenal sebagai Megan’s Law, hukum tersebut memungkinkan warga sipil untuk mendeteksi keberadaan mantan pelaku kejahatan seksual, yang dianggap berbahaya. Dengan hukum ini, diharapkan masyarakat dapat waspada, dan para mantan pelaku tidak berkesempatan untuk mengulangi kejahatannya.

b.  Prevensi Sekunder

Pencegahan sekunder merupakan upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak, lama dan berkembangnya masalah gangguan yang telah ada agar tidak menjadi parah. Pencegahan ini menekankan deteksi dini dan treatment segera terhadap tingkahlaku maladaptif dalam keluarga dan komunitas. Dapat dilakukan dengan memberitahukan jenis-jenis perawatan yang dapat membantu mengontrol perilaku dengan baik dan menunjukkan efek negatif yang timbul apabila tidak dilakukan treatment, memberikan intervensi paradoksikal, dengan mengekspresikan keraguan bahwa orang tersebut memiliki motivasi untuk menjalani perawatan. dapat pula dengan menjelaskan bahwa akan ada pemeriksaan psikofisiologis terhadap rangsangan seksual pasien; dengan demikian kecenderungan seksual pasien dapat diketahui tanpa harus diucapkan atau diakui oleh pasien (Garland & Dougher, 1991).

c.  Prevensi Tertier

Prevensi tertier yaitu upaya untuk mengurangi konsekuensi jangka panjang gangguan atau masalah yang serius. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan berkonsultasi dengan pihak yang berwajib, seperti rumah sakit, psikiater dan lain-lain. Dalam pencegahan tertier dapat dilakukan beberapa terapi diantaranya sebagai berikut;

  1. Terapi Psikoanalisis. Terapi yang membuat pasien menjadi menyadari bahwa kebutuhan menghukum diri sendiri adalah sekunder akibat perasaan bersalah pada bawah sadar yang berlebihan. Mengenali impuls agresif mereka yang terepressi, yang berasal dari masa anak-anak awal.
  2. Dengan cara orgasmic reorientation, yang bertujuan membuat pasien belajar untuk menjadi lebih terangsang pada stimulus seksual yang konvensional. Dalam prosedur ini pasien dihadapkan pada stimulus perangsang yang konvensional, sementara mereka memberi respon seksual terhadap rangsangan lain yang tidak konvensional. Terdapat pula teknik lain yang umum digunakan, seperti pelatihan social skills.
  3. Teknik Kognitif, yang digunakan untuk mengubah pandangan yang terdistorsi pada individu. Diberikan pula pelatihan empati agar individu memahami pengaruh perilaku mereka terhadap orang lain.
  4. Teknik Biologis, intervensi biologis yang sempat banyak diberikan adalah dengan melakukan kastrasi atau pengangkatan testis. Baru-baru ini, penanganan biologis yang dilakukan melibatkan obat-obatan. Beberapa obat yang digunakan adalah medroxyprogesterone acetate (MPA) dan cyptoterone acetate. Kedua obat tersebut menurunkan tingkat testosteron pada laki-laki, untuk menghambat rangsangan seksual. Walaupun demikian, terdapat masalah etis daripenggunaan obat, karena pemakaian waktu yang tidak terbatas serta efek samping yang mungkin muncul dari pemakaian jangka panjang.
  5. Pengobatan gangguan paraphilia biasanya berusaha untuk mengurangi dorongan seksual dan perilaku melalui terapi perilaku, digunakan untuk mengidentifikasi pemicu yang menyebabkan perilaku yang tidak diinginkan dan mengarahkan perilaku mereka dalam cara-cara yang sesuai sosial, dan melalui penggunaan intervensi psychopharmaceutical (The American Psychiatric Association, 2013). Penggunaan antiandrogen, termasuk medroxyprogestrone dan cyproterone, bersama dengan antipsikotik mengurangi reaksi fisik dan gejala psikologis yang berkaitan dengan kelainan seksual sadisme (Kafka, 1995).

 

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association, The (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.). Arlington, VA: American Psychiatric Publishing.

Fedoroff, Paul J. “Sadism, Sadomasochism, Sex, and Violence”. Canadian Journal of Psychiatry, 2008, 53 (10): 637-646.

Kafka, M.P. (1995). Current concepts in the drug-treatment of paraphilias and paraphilia-related disorders. CNS Drugs, 3(1), 9-21.

Ratus Spencer, Greene Beverly, S. Nevid Jeffrey. “Abnormal Psychology In A Changing World” Fourth Edition. 391

Davidson Gerald, M. Kring Ann, M. Neale John. “Abnormal Psychology-Ninth Edition”. 14:623-633

Fausiah, F., Widury, J. (2006). Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Nevid, J.S., Rathus, S.A., Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal Edisi Kelima. Penerbit Erlangga.

Kortono, Kartini. (2004). Psikologi abnormal dan psikopatologi. Bandung : Mandar Maju

Wiramihardja, Sutardjo. (2005). Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung : PT Rifika Aditama

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun