Duh, Gusti.
"Lil? Kamu kenapa malah bengong? Udah pada antre mau turun juga, nih. Yuk!" Teman Lili itu mengingatkan yang hanya dibalas keterdiaman. Lila tidak berniat untuk menyahutinya sama sekali.
Kini, Lila memang sedang berada di tempat kekinian itu bersama beberapa temannya saat ini. Sekadar melepas penat karena berbulan-bulan digempur dengan tugas akhir yang menyita banyak perhatian. Yang lainnya sudah pulang lebih dahulu karena ada agenda masing-masing, tersisa Lila dan orang itu, yang tentunya Lila malas menyebut namanya.
Sayangnya, selepas resah perkara kampus usai, sekarang ada kegelisahan baru yang siap menunggu.Â
O, Allah. How come? Dalam hati Lila masih menyesali kebodohan yang ia lakukan tadi.
Tak ingin terjebak terlalu lama dengan suasana yang canggung, Lili segera fokus berjalan ke depan. Bahkan, tidak ada niat sedikit pun untuk menoleh ke belakang. Kepalang malu sebenarnya. Namun, ia mencoba bersikap biasa saja, seperti temannya itu yang berlaku seolah-olah tidak ada apa-apa.
Bodo amat, dah. pikir Lila.
"Bulan September datangnya, kok, cepat banget, ya?" Lila berucap pelan, mengalihkan pembicaraan sembari menghalau rasa malu yang tak dapat dideskripsikan, juga belum sepenuhnya hilang.
Tanpa Lila duga, lelaki yang membuatnya sebal itu malah berjalan santai menyamai posisinya, sambil menyemburkan tawa tertahan. Entah menertawakan rasa percaya diri Lila atau apa. Yang jelas, Lila makin tak punya muka dibuatnya.
"Apaan, sih! Ketawanya itu, loh. Kayak ngenyek banget." Lila menggerutu sambil mempercepat langkah.
Kurang ajar! Awas saja kamu! Kubalas dengan setimpal nanti. Lila mengancam, dalam hati tentu saja. Soalnya, kalau berbicara begitu secara langsung, Lila pasti tidak akan berani. Ditambah perasaan kikuk juga mengerubungi, makin tidak punya nyali.