Albi pun mengucapkan 'terima kasih' dengan diselipi senyuman yang begitu sangat memesona.
Amankan jantungku! Hati Naira bergemuruh.
Setelah puas bercerita dengan Albi, Bapak dan Mamak beranjak ke ruang keluarga. Beliau mempersilakan Naira dan Albi untuk bernostalgia. Dengan tetap diawasi dari ruang tengah tentunya. Biar bagaimana pun, keduanya tidak ada ikatan halal. Jika hanya duduk berdua saja takut mengundang fitnah. Meskipun sebenarnya muda-mudi itu tidak melakukan hal-hal yang melanggar norma agama.
"Setelah bertahun-tahun nggak ketemu Naira, pasti banyak yang mau diceritakan to, Nak Albi? Kalau gitu, Bapak mau bergeser ke ruang sebelah dulu. Ayo, Mak!" ajak Bapak Naira pada Mamaknya. Beliau berdua pun berlalu.
Seketika hening. Pertemuan yang sudah terhitung lama, membuat Naira dan Albi merasa canggung untuk sekadar memulai percakapan.
"Hai, penulis kebanggaanku. Maaf, ya! Aku baru menyapamu dengan benar kali ini. Apa kabar kamu? Apa kabar hatimu?" Albi mencoba membuka suara. Ucapan konyolnya sontak mengagetkan gadis manis itu.
"Apaan, sih, Bi?" gerutu Naira datar untuk menutupi rasa malu yang sedang bergelayut manja pada dirinya.
Lalu, lelaki itu membuka tas ranselnya. Ia sodorkan sebuah buku yang tampak tak asing begitu melihat sampulnya
"Lelaki Bermata Sendu." Albi mengulang judul buku itu dengan penuh arti.
Naira sontak terdiam.
"Apakah aku tokoh utama dalam buku ini?" ucapan Albi membuat seorang Naira kelimpungan. Tak ada daya untuk mengiakan. Menggeleng pun rasanya tak kuasa. Sebab, nyatanya, tutur lelaki itu memang benar adanya.