"Nunggu kamu," jawabnya singkat, kala itu.
Senyum gadis itu seketika merekah. Ada hawa dingin menyeruak di seluruh sendi-sendinya. Tuturnya yang singkat nan teduh itu melegakan.Â
Lelaki itu benar-benar berhasil menjadi asupan energi yang utuh sebelum Naira menghadapi kenyataan pahit yang akan mengacaukan suasana hati.
Sebelum bel berbunyi tanda kegiatan belajar mengajar dimulai, Naira dan Albi memutuskan untuk langsung beranjak ke kelas masing-masing.Â
Kebetulan, mereka memang berbeda jurusan. Naira sangat menyukai angka, jadi ia memilih masuk jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).Â
Sementara itu, Albi sangat menyukai mata pelajaran umum yang berhubungan dengan sejarah dan kehidupan sosial. Sehingga, ia lebih memilih mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
Kini, ingatan Naira masih melayang ke masa sekolah dulu.
Saat itu, Naira hampir saja tiba di kelas. Suasana yang tadinya gaduh mendadak senyap. Ruangan itu menyisakan trauma mendalam bagi gadis malang itu. Kakinya seketika enggan untuk melanjutkan langkah.Â
Ada semacam nyeri yang terpatri dalam relung hati ketika tawa penghinaan memecah hening seluruh kepala. Tatapan penuh tanya serta bisik-bisik tak sedap dari para lelaki di kelasnya membuat sesak di dada.Â
Sambutan yang sadis, bisik hati Naira kuat.Â
Mata gadis tak berdaya itu makin panas. Bulir bening di kedua matanya hampir saja luruh. Ia mencoba sekuat tenaga menahan. Meski emosi terus menyeruak, tetapi ia berhasil meredamnya dengan baik. Ia tidak ingin terlihat lemah.